Jakarta (Riaunews.com) – Said Aqil Siradj dan Yahya Cholil Staquf menjadi kandidat terkuat ketua umum PBNU dalam Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU). Sama-sama punya keunggulan, tetapi keduanya juga diprediksi tidak akan banyak membawa perubahan pada posisi dan sikap NU terhadap pemerintah.
Peneliti politik dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menjabarkan dua faktor yang berpengaruh pada pemilihan calon ketum PBNU. Pertama, kuatnya faktor genealogi. Dia mengatakan calon ketum itu selalu dilihat keturunan siapa dan berasal dari pesantren besar mana.
Seperti diketahui, Said Aqil yang masih menjabat sebagai Ketum PBNU merupakan putra dari KH Aqiel Siroj pendiri pondok pesantren KHAS Kempek di Cirebon.
Sementara Yahya Cholil Staquf adalah putra dari KH Cholil Bisri. Dia adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin di Rembang.
Mana di antara dua pesantren tersebut yang dinilai lebih kuat genealoginya dalam sejarah NU? Menurut Wasisto, hal inilah akan menjadi bahan kampanye atau pertimbangan peserta pemilih. Faktor kedua, adalah akomodasi politik pemerintah.
Dia melihat baik Said Aqil maupun Yahya Staquf akan memiliki narasi yang sama dengan sekarang, yakni tetap mendekat ke pemerintah.
Kedekatan kedua calon ketum PBNU tersebut terlihat dari posisi mereka di rezim saat ini.
Said Aqil diketahui menjabat sebagai komisaris di salah satu BUMN, yakni PT Kereta Api Indonesia.
Sementara Yahya Cholil adalah salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Joko Widodo. Sedangkan saudaranya Yaqut Cholil Qoumas dipercaya Jokowi menjabat sebagai Menteri Agama.
“Maksud saya, organisasi ini tidak pernah bersikap oposisi dengan pemerintah. Itulah yang membuat organisasi ini bisa mendapatkan akomodasi politik dari pemerintah. Apalagi sekarang banyak kader NU dan secara organisasi banyak fasilitas dari negara. Itu yang membuat parameter kedua apakah ketum PBNU nanti bisa secara politik bertindak hal yang sama,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Ahad (21/11/2021).
Soal sikap dan posisi NU di masa Orde Baru, Wasisto mengatakan NU saat itu pun tidak menajuhi pemerintah. Dia mengingatkan, NU adalah organisasi yang pertama menerima Pancasila sebagai azas tunggal. Dengan menerima Pancasila, mendukung kebhinekaan dan ke-Indonesia-an, NU memiliki bargaining politik dengan pemerintah.
“Atas dasar itu, kemudian NU bisa bermain politik meskipun saat itu bersikap oposisi,” ucapnya.***