Pekanbaru (Riaunews.com) – Presiden Joko Widodo menghapus limbah batubara hasil pembakaran yaitu Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3).
Hal ini tertuang dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Keputusan yang berpihak pada industri energi kotor batubara ini adalah kabar buruk bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, dan masa depan transisi energi bersih terbarukan nasional.
“Regulasi ini mengabaikan hak kesehatan dan lingkungan hidup yang sehat, serta jauh semangat ke energi bersih terbarukan,” kata Andi Wijaya selaku Direkur LBH Pekanbaru kepada Riaunews.com melalui siaran pers yang diterima redaksi, Selasa (16/3/2021).
Menurutnya, upaya masif oligarki batubara ini dimulai dari revisi UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, proyek hilirisasi batubara yang berusaha membajak RUU EBT, dan sekarang dengan menghapus limbah FABA dari jenis limbah B3.
“Kebijakan demi kebijakan ini hanya bertujuan agar industri energi kotor batubara dapat terus mengeruk untung berganda,” ucap Andi.
Dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 adalah keputusan bermasalah dan berbahaya. Batubara mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif. Ketika batubara dibakar di pembangkit listrik, maka unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakarannya yakni abu terbang dan abu padat (FABA).
Ketika FABA berstatus sebagai limbah B3 pun, banyak studi kasus yang menunjukkan perizinan belum berhasil memastikan perlindungan atas risiko. Para penghasil abu maupun pihak ketiga yang mengelola abu belum betul-betul mengelola risiko dan memenuhi persyaratan teknis yang layak sebagaimana diatur dalam regulasi.
Di Riau, bahkan di Indonesia studi mengenai pencemaran lingkungan akibat FABA maupun dampak kesehatannya masih sangat terbatas.
Informasi hasil pengujian air tanah tidak tersedia untuk diakses publik, sekalipun disyaratkan dalam pengelolaan limbah B3.
Sementara, kegiatan berizin yang bertahun-tahun dianggap taat pun belum tentu benar.
Seringnya, inspeksi serius dilakukan setelah keresahan masyarakat kian merebak, atau jika ada pengaduan masyarakat. Jika pun sanksi dijatuhkan, tidak selalu menjamin masyarakat terbebas dari pelanggaran berulang,” lanjut Andi.
Saat ini Sungai Siak memiliki fungsi yang vital dan beragam, seperti sebagai sumber air baku untuk pengolahan air bersih (PDAM), industri, transportasi, perikanan, fungsi rekreasi, fungsi komunikasi, fungsi konservasi (ekosistem air sungai), dan lain-lain.
Namun saat ini kualitas air sungai siak sudah banyak mengalami penurunan.
“Dalam temuan LBH Pekanbaru mendapatkan adanya penyakit baru dan penderita beberapa penyakit yang semakin meningkat akibat masih menggunakan air Sungai Siak sebagai kebutuhan sehari-hari,” sebutnya lagi.
Sementara Noval Setiawan dari Koalisi Bersihkan Riau, menyebut nelayan yang berada di pesisir Sungai Siak merasakan dampak serupa yaitu hasil tangkapan ikan yang semakin hari semakin berkurang hingga profesi masyarakat pesisir Sungai Siak yang sebelumnya nelayan saat ini mencari ikan hanya sebagai pekerjaan sampingan.
“Keluarnya Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori Limbah B3 akan membuat sungai siak semakin tercemar dan kerusakan semakin sulit dikendalikan. FABA harus Kembali masuk kategori limbah B3 dan pemerintah harus segera selamatkan sungai siak dari kerusakan,” kata Noval.
Apabila pemerintah memiliki orientasi dan keinginan yang kuat pada upaya pembangunan yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan hidup, mencegah bencana lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat, pemerintah harus tetap mengatur FABA batubara sebagai jenis limbah B3.
Hal senada juga disampaikan Fandi Rahman selaku Deputi Walhi Riau. Penghapusan aturan yang terjadi saat ini dengan dalih mendorong pemanfaatan hanya akan berakhir sebagai langkah ekonomi yang berisiko tinggi.
“Turunan dari Omnibus Law sama saja melegalkan pencemaran lingkungan, pastinya juga mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan dan yang akan datang,” ucapnya.
Jika tidak tergolong B3, akan dengan mudah limbah PLTU dibuang ke Sungai Siak seperti limbah biasa.
“Dampaknya akan berbahaya bagi lingkungan dan ekonomi terlebih sungai siak saat ini dalam kondisi tercemar berat,” tambah Fandi
Koalisi Bersihkan Riau bersama Bersihkan Indonesia mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut kebijakan yang menghapus FABA sebagai Limbah B3.
Bersihkan Indonesia juga mendesak pemerintah untuk segera beralih ke energi terbarukan. Transisi energi harus dilakukan secara serius dan dimulai dengan kebijakan phase out batubara, bukan justru terus memfasilitasi industri energi batubara yang kotor, rakus dan serakah.***