Jakarta (Riaunews.com) – Partai Komunis Indonesia (PKI) bikin kejutan dengan meraup 16,4 persen suara nasional dalam Pemilu 1955. Itu mengantarnya jadi urutan keempat dalam pemilu. 39 kadernya berhasil melenggang ke DPR dan 80 wakilnya dapat kursi di majelis Konstituante.
Padahal, citra partai itu sempat hancur gara-gara Peristiwa Madiun 1948. Kunci keberhasilan PKI saat itu adalah relasinya yang kuat dengan massa akar rumput di perdesaan.
Dikutip dari Tirto.id, PKI dengan cerdik menyiapkan materi kampanye yang disesuaikan dengan konteks pedesaan dan kota besar.
Di perkotaan, PKI memainkan isu kemiskinan dan cengkraman asing atas perekonomian. Sementara di aras perdesaan, terutama yang dekat dengan perkebunan, isu agraria jadi jualan utama.
Strategi kampanye yang fleksibel itu kembali diterapkan PKI dalam Pemilu DPRD 1957. Kali ini, PKI memanfaatkan pesan-pesan antikorupsi sebagai materi kampanyenya. Dipa Nusantara Aidit, misalnya, mendengungkan pesan-pesan antikorupsi ketika berkampanye di Blitar, Jawa Timur, pada 26 Juli 1957.
Sebagaimana dikutip Bintang Timur (29 Juli 1957), Ketua PKI itu berjanji akan mencopot kedudukan wakil-wakil PKI di DPR atau DPD jika terindikasi melakukan korupsi. Mereka juga bakal dipecat dari partai jika terbukti merugikan rakyat. Menurut Aidit, semua partai semestinya bersikap tegas terhadap koruptor. Sikap antikorupsi adalah kunci bagi sehatnya dunia politik dan pertumbuhan demokrasi Indonesia.
Faishal Hilmy Maulida dalam Sejarah Pemilu yang Dihilangkan, Pemilihan Umum dalam Politik Indonesia Tahun 1950-an (2020, hlm. 105) berpendapat, narasi antikorupsi yang digaungkan Aidit itu juga bisa dibaca sebagai cara memojokkan lawan-lawan politik PKI.
Kala itu, beberapa kader PNI, PSI, Masjumi, dan NU memang dikabarkan tersandung kasus korupsi. Zainul Arifin dari NU adalah salah satu contohnya. Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI menerangkan, Zainul adalah tokoh politik pertama yang tertangkap melakukan korupsi. Wakil ketua DPR itu kemudian dikenakan tahanan kota di Bandung.
Tokoh PSI Sumitro Djojohadikusumo juga sempat dituduh melakukan korupsi pada 1957. Dia sempat dua kali periksa, tapi kasusnya tak tuntas karena dia tidak menghadiri pemeriksaan ketiga. Setahun kemudian, dia diketahui bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra.
Kasus-kasus semacam itu terang membuat citra beberapa partai tercoreng. Sementara itu, PKI aman-aman saja karena nisbi tak ada kadernya yang tersandung kasus korupsi. Menurut Daniel Lev dalam The Transition to Guided Democracy 1957-1959 (1966, hlm. 87), PKI lebih tepat jika dikatakan tidak mendapatkan peluang untuk melakukan korupsi.
PKI juga mengkritik partai-partai rivalnya yang tetap mempertahankan keanggotaan kadernya yang tersangkut kasus korupsi. Beberapa partai beralasan, kasus-kasus mereka belum tuntas di pengadilan. Bahkan, ada pula partai yang malah membela pimpinannya yang didakwa melakukan korupsi.
Keadaan demikian ini memudahkan PKI untuk menggiring isu bahwa partai-partai ini adalah “partainya kaum koruptor” yang merugikan rakyat (Haluan, 11 September 1957).
Pecah Kongsi PNI-PKI
Suluh Indonesia (1 Agustus 1957) mengabarkan, propaganda PKI yang menyudutkan itu mendapat kecaman keras dari PNI. Tokoh PNI Subagio Reksodipuro, misalnya, mengecam kampanye itu sebagai fitnah.
“Tuduhan ‘partai korup’ ini bersifat provokatif dan sangat disesalkan warga marhaenis,” ujar Subagio.
Kegeraman PNI semakin memuncak ketika PKI berhasil menang di daerah-daerah yang menjadi basis suara partai marhaenis itu. Haluan (4 September 1957) memberitakan, PNI Jawa Tengah ‘menalak tiga’ hubungan kerja samanya dengan PKI. Hal itu diumumkan langsung oleh Juru Bicara PNI Jawa Tengah Martosuwito dalam Konferensi Daerah PNI pada 31 Agustus-1 September 1957 di Semarang.
Bahkan di Jawa Barat dan Sumatera Selatan, PNI mulai menjalin komunikasi dengan Masjumi untuk melawan dominasi PKI. PNI juga menginstruksikan kadernya di DPRD untuk tidak lagi bekerja sama dengan PKI (Keng Po, 13 Agustus 1957; Pedoman, 14 Oktober 1957).
Marahnya PNI atas kampanye ofensif PKI itu ditanggapi dingin oleh Aidit. Menurutnya, tidak seharusnya PNI apriori terhadap PKI, terlebih terhadap kemenangan mutlak PKI di kantong-kantong suara PNI. PKI juga tetap bersedia merundingkan kerja sama yang saling menguntungkan di antara partai-partai blok demokratis pendukung konsepsi Presiden Sukarno.
“Selama PNI tetap menjalankan politik anti-kolonialisme dan demokratis, PKI tetap akan menyokong kabinet PNI, walaupun seandainya PNI mengatakan tidak mau bekerjasama dengan PKI, tetapi kalau PNI menempuh jalur politik anti-demokratis dan anti-rakyat seperti saat PNI menyokong kabinet Sukiman, dengan sayang sekali maka PKI tidak mungkin menyokongnya,” tulis Aidit dalam D.N. Aidit Pilihan Tulisan Jilid 2 (1960, hlm. 305).
Polemik Dana Pemilu di Nganjuk
Tak hanya sebatas jargon, selama dekade 1950-an, PKI juga proaktif menyuarakan sikapnya terhadap perilaku korup. Pada 15 Juni 1954, Seksi Comite (Secom) PKI Nganjuk melaporkan dugaan penyalahgunaan anggaran persiapan penyelenggaraan pemilu. PKI Nganjuk menengarai Pemerintah Daerah Nganjuk menyalahgunakan dana itu untuk membeli padi.
Kejadian ini terangkum dalam Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri, jilid II: Nomor 1114. Dokumen ini memuat pernyataan Secom PKI Nganjuk tentang kesulitan Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) menyelesaikan pekerjaan teknis persiapan pemilu gara-gara ketiadaan dana.
Pemerintah telah menganggarkan Rp75.000 untuk keperluan operasional PPK, PPS, dan sebagian untuk Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP). Namun, Bupati Nganjuk K.I. Soeroso Atmohadiredjo yang sekaligus Ketua PPK Nganjuk justru meminjamkan dana itu untuk pembelian padi.
Secom PKI Nganjuk langsung bereaksi atas kejadian itu. Tasmidjan atas nama Sekretariat Secom PKI Nganjuk menjelaskan bahwa tindakan Bupati Soeroso itu tidak bisa dibenarkan. Dia juga mendesak supaya uang Rp75.000 itu segera dikembalikan dan selanjutnya digunakan sesuai ketentuan-ketentuan yang ada. Tak hanya itu, Secom PKI Nganjuk juga mengimbau agar penyalahgunaan anggaran seperti itu jangan sampai terulang kembali.
PPK Nganjuk sendiri lantas membantah pernyataan PKI soal dugaan penyelewengan anggaran itu. Wakil Ketua PPK Nganjuk Soediro menjelaskan, PPK Nganjuk menerima mandat sebesar Rp75.000 untuk keperluan pemilu pada 17 Mei 1954. Namun, anggaran itu belum bisa dicairkan sebelum mendapat instruksi dari instansi atasan. Bupati Soeroso kemudian menyimpan dana tersebut di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Nganjuk.
Lalu, pada awal Juni 1954, BRI Nganjuk mengalami defisit keuangan karena belum menerima kiriman dari BRI atasannya. Karena itu, BRI Nganjuk meminta persetujuan Bupati Soeroso untuk sementara menggunakan dana pemilu itu untuk melakukan pembelian padi.
Sidang PPK Nganjuk pada 4 Juni 1954 menyetujui langkah itu dan tidak ada seorangpun anggota yang menaruh keberatan. Dalam surat bantahannya, PPK Nganjuk juga menegaskan bahwa tindakan Bupati Nganjuk itu sama sekali tidak mengganggu jalannya pemilihan umum.
Meski sudah ada klarifikasi dari PPK Nganjuk, kabar kasus itu sempat tersiar luas hingga menarik perhatian Gubernur Jawa Timur Samadikoen. Pada 26 Juli 1954, Gubernur Samadikoen berkirim surat ke Wakil Perdana Menteri I (Biro Keamanan) untuk menjelaskan masalah itu. Gubernur Samadikoen menegaskan, tindakan Bupati Soeroso tidak salah dan tidak pula termasuk perbuatan curang.
Menurut Samadikoen, Bupati Nganjuk itu hanya berbuat suatu kebijaksanaan, sebagaimana disebut dalam surat klarifikasi PPK Nganjuk. Dia juga menyebut persiapan pemilu tidak terganggu oleh tindakan tersebut. Bupati Soeroso bahkan mendapat penghargaan dari Gubernur Samadikoen atas kebijaksanaan yang telah diambilnya.***