Yerusalem (Riaunews.com) – Mufti Yerusalem dan Otoritas Palestina, Syekh Muhammad Hussein, menerbitkan fatwa mengharamkan umat Muslim yang hendak beribadah di Masjid Al-Aqsa jika datang dari daerah yang menerapkan normalisasi hubungan dengan Israel, seperti Uni Emirat Arab.
“Ibadah di Masjid Al-Aqsa terbuka bagi mereka yang datang melalui gerbang di wilayah Palestina, dan bukan bagi mereka yang mengikuti Kesepakatan Abad Ini yang diusulkan Amerika Serikat,” kata Hussein, seperti dilansir Jewish Press, Kamis (20/8/2020).
Baca: Normalisasi hubungan, Kepala Intelijen Israel kunjungi UEA
Hussein mengatakan fatwa itu sejalan dengan fatwa sebelumnya yang menyatakan kesepakatan yang diusulkan AS dinyatakan haram. Dia juga mengatakan bahwa normalisasi hubungan adalah bagian dari kesepakatan itu dan semua yang melalui jalur itu dilarang, cacat dan tidak sah.
Menurut pendapat Hussein, orang-orang yang datang melalui wilayah atau negara yang mengakui Israel diharamkan masuk ke Masjid Al-Aqsa, karena kesepakatan itu mengakui Yerusalem adalah ibu kota Israel.
“Tidak ada yang bisa menjadi penjaga Masjid Al-Aqsa dengan berdasarkan kesepakatan yang meragukan. Yang berhak menjadi pelindung adalah mereka yang benar-benar menjaga dan mempertahankan Al-Aqsa, dari gerbang Palestina, Yordania atau jalur dari negara lain yang mendukung,” ujar Hussein.
Masjid Al-Aqsa terletak di sebelah selatan kompleks yang dulunya diyakini sebagai Kuil Sulaiman.
Sekretaris Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina, Saeb Erekat, menyesalkan keputusan UEA melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Menurut dia Yerusalem adalah wilayah yang dijajah dan seluruh aturan yang dibuat oleh penjajah tidak sah.
Di sisi lain, anggota Dewan Tertinggi Ulama Senior Al Azhar Al Sharif, Dr. Abbas Shoman, tidak sepakat dengan fatwa Hussein. Dia mengatakan dalam Islam tidak ada aturan yang melarang atau mengharamkan seorang Muslim untuk salat di masjid manapun, termasuk di Masjid Al-Aqsa.
Baca: Jalin hubungan dengan Israel, Iran sebut tindakan UEA bagaikan menusuk Muslim dari belakang
“Saya menolak fatwa yang tidak berdasarkan syariat Islam, dan saya sebagai pakar hukum Islam tidak pernah menemukan ada dalil yang mendukung untuk mengharamkan atau menyatakan tidak sahnya sebuah ibadah yang dilakukan umat Muslim di negara tertentu ketika salat di masjid, hanya karena sikap politik yang diambil oleh negara mereka,” kata Shoman seperti dilansir Gulf News.
“Saya meyakini fatwa itu pilih kasih dan tidak berdasarkan syariat Islam. Saya bukannya membela UEA atau ikut campur dalam sikap politik yang diambil oleh para pemimpinnya. Sejauh yang saya tahu, belum pernah ada fatwa yang melarang atau mengharamkan seseorang atau sekelompok orang untuk salat di masjid,” ujar Shoman.
Shoman lantas merujuk pada hubungan Turki dan Israel. Kedua negara itu menjalin hubungan diplomatik sejak 1949, dan menjadi negara mayoritas Muslim pertama yang mengakui kedaulatan Israel.
Hubungan Turki dan Israel tetap kuat dan terjalin sampai saat ini. Mereka juga mengikat kerja sama di bidang ekonomi dan militer.
Baca: Turki ancam tarik Dubesdari Abu Dhabi, buntut UAE normalisasi hubungan dengan Israel
“Melihat fakta itu, kita tidak pernah mendengar ulama Palestina melarang atau mengharamkan warga Turki salat di Al-Aqsa. Atau Qatar yang juga mempunyai hubungan perdagangan dengan Israel, tidak pernah ada yang melarang warga Qatar untuk salat di Al-Aqsa,” ujar Shoman.***
Sumber: CNN Indonesia
Editor: Ilva
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.