Jakarta (Riaunews.com) – Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga menilai komunikasi dan koordinasi pemerintah semakin buruk dalam penanganan pandemi virus corona (Covid-19). Jamiluddin mengatakan komunikasi buruk pemerintah terlihat sejak pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di beberapa daerah.
Ia mencontohkan ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih menggunakan istilah PPKM Darurat pada Selasa (20/7) malam. Sementara dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2021 yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada hari yang sama memakai istilah PPKM Level 4.
“Sejak awal komunikasi publik pemerintah pusat selama ini cukup buruk, tidak terkoordinir,” kata Jamiluddin saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (21/7/2021).
Jamiluddin menyoroti pernyataan pejabat pemerintahan yang tak kompak, beberapa di antaranya bahkan kontradiktif. Seperti saat membicarakan wacana perpanjangan PPKM Darurat, sejumlah pejabat sudah berbicara sebelum Jokowi memberikan pengumuman resmi.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy misalnya menyebut kebijakan PPKM Darurat Jawa-Bali diperpanjang hingga akhir Juli 2021. Kemudian Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang juga mengungkapkan skenario PPKM Darurat dapat berlangsung hingga enam pekan.
Sementara pada hari yang sama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengaku belum bisa memutuskan opsi perpanjangan PPKM Darurat lantaran masih dalam proses evaluasi.
“Yang seharusnya diambil oper oleh Kominfo, tapi selama ini kelihatan pasif sehingga tidak ada kementerian yang mengkoordinir bagaimana mengkomunikasikan hal yang terkait Covid-19 ini,” ujarnya.
Jamiluddin menilai kebijakan yang diputuskan pemerintah juga kerap berjalan setengah-setengah. Dalam PPKM Darurat ini, pemerintah belum membuat aturan turunan seperti pembagian bantuan sosial (bansos) ke masyarakat.
Menurutnya, masih banyak masyarakat yang tak kebagian bansos. Dengan demikian, pemerintah sejak awal kurang menyiapkan paket bansos untuk diberikan ke warga selama PPKM Darurat.
“Ini membuktikan mereka mengeluarkan kebijakan, tapi mereka sendiri tidak siap akan pelaksanaannya,” katanya.
Lebih lanjut, Jamiluddin juga menyoroti pergantian istilah pembatasan mobilitas dari pemerintah pusat dalam menekan penyebaran virus corona. Dari mulanya PSSB, PSBB Transisi, PPKM, PPKM Mikro, PPKM Darurat, hingga PPKM Level 4 ini.
Menurutnya, istilah-istilah serupa dengan substansi yang mirip hanya membingungkan masyarakat dan pemerintah daerah. Padahal di tengah situasi seperti ini, alih-alih memainkan istilah, ia mendorong agar pemerintah lebih serius pada implementasi di lapangan.
“Apalagi dalam situasi krisis itu kan masyarakat relatif sensitif. Kemudian diberi informasi yang istilah dari saya, informasi zig-zag. Itu membuat masyarakat menjadi tidak memahami apa sebetulnya yang diinginkan pemerintah pusat,” ujarnya.
Jamiluddin menilai pemerintah sengaja mempermainkan istilah untuk lari dari penggunaan Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Menurutnya, pemerintah hendak menghindari kebijakan karantina wilayah alias lockdown.
“Jokowi kelihatannya kan sangat alergi dengan lockdown, dari awal memang sudah tidak mau. Saya menangkapnya begitu, karena kalau mereka menjalankan UU itu, maka negara wajib memberi kompensasi untuk memberikan kehidupan bagi rakyatnya,” katanya.
Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang PPKM dengan tingkat Level 4 di Jawa-Bali dan beberapa daerah lain hingga 25 Juli 2021. PPKM Level 4 berlaku di 122 kabupaten/kota di Jawa-Bali, dan 15 kabupaten/kota di luar Jawa-Bali.
Jokowi mengatakan melonggarkan secara bertahap aturan pembatasan dalam PPKM Level 4 apabila kasus Covid-19 di Indonesia menurun pada 26 Juli.***
Sumber: CNN Indonesia