Oleh Mochamad Toha
Somasi yang dikirimkan oleh PTPN (PT Perkebunan Nusantara) VIII biasanya dapat teguran dari Administratur Gunung Mas PTPN VIII (setingkat bupati) tapi untuk Pondok Pesantren Markaz Syariah Megamendung ini yang turun tangan langsung Dirutnya, Mohammad Yudayat.
Ini terlihat sangat politis sekali, bukan sebagai teguran yang untuk Penegakan Hukum. Perlu diketahui, tanah-tanah yang bermasalah di pajak ex perkebunan Cikopo Selatan Gunung Mas yang sekarang diklaim oleh PTPN VIII seluas sekitar 352.67 ha ini tersebar di 6 desa.
1. Dua desa yakni Desa Sukakarya dan Kopo, Kecamatan Megamendung seluas lebih kurang 94.26 ha;
2. Desa Sukagalih, Megamendung seluas lebih kurang 40.08 ha;
3. Desa Kuta, Kecamatan Megamendung seluas 65.46 ha;
4. Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung seluas 97.71 ha;
5. Desa Citeko, Kecamatan Cisarua seluas lebih kurang 55.16 ha.
Jadi, total semua di 6 di desa di 2 kecamatan itu seluas 352.67 ha.
Sedangkan yang menduduki lahan lahan tanah ex PTPN Cikopo Selatan sebagai berikut:
1. Yayasan Wadi Mubarok, Desa Kuta seluas lebih kurang 5 ha;
2. Yayasan Al Mugni lebih kurang 4 ha Desa Kuta;
3. Yayasan Wadi Cidokom 1 ha Desa Kopo;
4. Yayasan Kristen Romo lebih kurang 40 ha di Desa Sukaresmi;
5. Bapak Jepri lebih kurang 35 ha Desa Sukaresmi;
6. Bapak Sugito 60 ha Desa Citeko;
7. Brigjen Polisi Edwarsyah Pernong 17.800 m2 Desa Sukagalih;
8. Jenderal Polisi Firman Gani 3 ha Desa Sukakarya;
9. Jenderal Polisi Condro Kirono lebih kurang 5 ha Desa Sukakarya;
10. Kolonel Isar Sampiray MB 6.000 m2 Desa Sukagalih;
11. Masdya Pur Kusnadi 1 ha Desa Sukagalih;
12. Ibu Lili 10 ha Desa Kuta;
13. Perusahan sayuran Korea 7 ha di Desa Kuta;
14. Perusahan bunga Alessia 5 ha Desa Sukaresmi;
15. Markaz Syariah lebih kurang 30 ha di Desa Kuta;
16. Bapak Rosenvile 1 ha Kambing Sukaresmi;
17. Bapak Manurung 3 ha Sukakarya;
18. Anton Anggoman 3 ha Sukakarya;
19. Ibu Ina di Desa Kuta 3 ha;
20. Villa Bambu 2 ha Desa Kuta;
21. SMK di Desa Kopi;
22. Dokter gigi 5000 m2 pasir panjang Desa Sukakarya;
23. I Komang Agus Trijaya peternakan ayam 26.000 m2 di Desa Sukagalih;
24. PT Saung Mirwan /Pak Loki 4 ha pertanian di Desa Sukagalih;
25. Ibu Ningsih 1 ha Desa Sukagalih;
26. Bapak Sanjaya 9 ha di Desa Sukagalih;
27. Bapak Heru peternakan sapi 2,6 ha Desa Sukagalih;
28. Ibu Suryani 5 ha Desa Sukagalih;
29. Ibu Wong 3 ha Desa Sukagalih;
30. Bapak Waluyo 3 ha Desa Sukagalih.
Dan banyak lagi yang tidak ditulis satu per satu.
Pertanyaannya, mengapa Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat hanya menyoal lahan sekitar 30 ha yang dipakai Ponpes Markaz Syariah pimpinan Habib Rizieq Shihab (HRS) saja, bukan termasuk yang lainnya?
Padahal, semua lahan itu kedudukannya sama dengan Ponpes Markaz Syariah. Tidak lebih tidak kurang.
Yayasan Kristen Romo di Arca Domas, Desa Sukaresmi telah berdiri 10 tahun sebelum Markaz Syariah datang, tapi tidak ada teguran dan gangguan somasi dari Dirut PTPN VIII. Jika memang penegakan hukum, seharusnya semuanya diminta kembali.
Tapi nyatanya, “Somasi Pertama dan Terakhir” ini hanya khusus dan bersifat politis kepada Ponpes Markaz Syariah saja. Inilah yang patut dipertanyakan kepada Dirut Yudayat. Padahal HRS itu membeli lahan tersebut dari warga Megamendung.
Lahan Markaz Syariah itu dibeli dengan sah, bukan menyerobot dari orang yang masih hidup dan siap bersaksi. HRS membeli dari beberapa orang pemilik sebelumnya.
Antara lain yaitu: 1. Jenderal Polisi Dadang Garnida (eks Kapolda Jawa Barat); 2. Jenderal Beni Angkatan Darat; 3. Serka Karman Suherman; 4. I Komang Agus Trijaya; 5. Herwantoni Salim (Jakarta); dan lain-lain.
Kemudian, lahan tersebut ditanda-tangani Ketua RT, RW, Kepala Desa, dan disertai dengan Rekomendasi dari Camat, Bupati, dan Gubernur. Malahan waktu itu Mentri BUMN Dahlan Iskan mengarahkan untuk memohon pelepasan seluas 100 ha.
Jadi sangatlah ironis, pesantren yang bernapaskan Islam didukung oleh RT sampai Menteri, hari-hari ini tiba-tiba akan “digusur” dan mau menghilangkan keberadaan Markaz Syariah.
Padahal, seharusnya Markaz Syariah, yayasan anak bangsa yang akan mencerdaskan umat, seharusnya Pemerintah mendukung kegiatan pendidikan ini dan itu merupakan sebagian dari tanggung jawab Pemerintah.
Markaz Syariah itu merupakan anak bangsa yang akan mencerdaskan anak negeri, semestinya Pemerintah memberikan tanah yang dimaksud, dan memberikan dana pembangunannya. Tapi ini yang tidak dilakukan. Upaya PTPN VIII ini justru kontra produktif.
Pusaran Korupsi
Pertanyaannya, mengapa Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat mau “menggusur” Markaz Syariah? Apakah karena ada tekanan dari pihak berwenang lainnya, sehingga dia menuruti apa kemauan “pihak ketiga” tersebut?
Boleh jadi, dan bukan tidak mungkin! Coba saja simak jejak digital Mohammad Yudayat! Sebelum menjabat Dirut PTPN VIII, Yudayat tercatat sebagai Direktur Keuangan PTPN III. Ia ikut dalam gelombang perombakan Direksi PTPN III.
Seperti dilansir CNN Indonesia, Selasa (29/10/2019 14:34 WIB), perubahan manajemen ini tertuang dalam SK Menteri BUMN No. SK-230/MBU/10/2019, 17 Oktober 2019, tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Perusahaan;
Dan, SK-231/MBU/10/2019 pada 17 Oktober 2019 tentang Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas, dan Pengangkatan Anggota Direksi PT Perkebunan Nusantara III.
Sebelumnya, Direktur Utama PTPN III Dolly Pulungan dan Direktur Pemasaran PTPN III I Kadek Kertha Laksana ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap distribusi gula.
KPK menduga Dolly meminta uang 345 ribu dolar Singapura pada Senin (2/9/2019) untuk keperluan pribadi kepada PT Fajar Mulia Transindo selaku distributor yang ‘dimenangkan’ perseroan dalam lelang distribusi gula.
Sementara itu, I Kadek Kertha Laksana telah ditahan KPK. Kadek terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan pada Selasa (3/9/2019). Berikut susunan direksi Perkebunan Nusantara III:
Plt Direktur Utama: M. Abdul Ghoni; Wakil Direktur Utama: M. Abdul Ghoni; Direktur SDM & Umum: Seger Budiarjo; Direktur Keuangan: Mohammad Yudayat; Direktur Pemasaran: Dwi Sutoro; Direktur Pelaksana: Ahmad Haslan Saragih; Direktur Operasi dan Pengembangan: Mahmudi.
Melansir Alinea.id yang mengutip dari Antara, Senin (17 Feb 2020 11:16 WIB), Mohammad Yudayat yang menjabat Direktur Keuangan PTPN III disebut kembali ketika ada perubahan jajaran direksi PTPN III Holding (Persero). Kali ini diberhentikan dengan hormat.
Penunjukan jajaran direksi baru tersebut berdasarkan SK Nomor 48/MBU/02/2020 tentang pemberhentian, perubahan nomenklatur, dan pengangkatan jajaran direksi.
Dalam SK tersebut, Mohammad Abdul Gani diangkat sebagai Direktur Utama, Denaldy Mulino Mauna sebagai Wakil Direktur Utama, Seger Budiarjo sebagai Direktur Umum.
Selanjutnya, M. Iswahyudi sebagai Direktur Keuangan, dan Wing Antariksa sebagai Direktur SDM. Selain itu, Menteri BUMN Erick Thohir memberhentikan dengan hormat Mohammad Yudayat sebagai Direktur Keuangan.
Sebelumya, Mohammad Abdul Ghani menjabat Plt. Dirut PTPN III Holding dan Denaldy Mulino Mauna sebagai Dirut Perum Perhutani. M. Iswahyudi sebelumnya sebagai bankir di Bank Mandiri dan Wing Antariksa pernah menjabat Direktur SDM PT ASDP (Persero).
Sekretaris Perusahaan PTPN III Holding Irwan Perangin-Angin sempat mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada Mohamad Yudayat yang berkesempatan mengabdi di PTPN III Holding dan telah banyak memberi manfaat bagi perseroan.
Meski sempat menjabat sebagai Direktur Keuangan PTPN III Holding, Mohammad Yudayat masih belum bisa membantu PTPN III yang terancam gagal membayar utang Rp 25,1 triliun. Dengan rincian, sebesar Rp16,1 triliun di level unsustain alias sulit dibayar perusahan.
Seperti dilansir Gatra.com, Rabu (20 Nov 2019 20:10), sisanya Rp 9 triliun, di level moderat atau berpotensi gagal bayar pinjaman pokok. Sementara, per 31 Desember 2018, utang PTPN Holding kepada pihak perbankan telah mencapai Rp37,8 triliun.
Hal ini terungkap dalam salinan surat PTPN III, sebagai induk PTPN, kepada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Kejaksaan Agung, pada 9 Juli 2019.
Dalam surat yang ditandatangani Direktur SDM Umum Seger Budiarjo tersebut, PTPN III meminta pendapat hukum mengenai aksi korporasi yang akan dilakukan.
Untuk menyelesaikan utang PTPN Holding, PTPN III berencana menjual aset BUMN (asset settllement) dengan mekanisme novasi kredit dan jual putus.
Novasi kredit yang dimaksud PTPN III, yaitu mengalihkan sebagian utang PTPN dari perbankan kepada pihak lain. Sedangkan mekanisme jual putus, yaitu penjualan aset milik PTPN Holding untuk menyelesaikan kewajiban kepada pihak lain.
Maklum, jika salah-salah ambil langkah, pemulihan utang dengan dua mekanisme di atas bisa diperkarakan. Maka itu, Seger Budiarjo dalam suratnya tersebut meminta penjelasan kepada Kejagung, mengenai aksi korporasi penjualan aset BUMN tadi.
“Bagaimana prosedur aksi korporasi di atas sesuai ketentuan perundangan yang berlaku?” begitu tertulis di surat PTPN III ke Kejagung.
Direktur Keuangan PTPN III Mohammad Yudayat optimis bahwa PTPN III Holding mampu membayar semua utang-utang korporasi. “Sejauh ini kita masih bisa serve kewajiban utang PTPN III Holding,” ujarnya kepada Gatra.com.
Ia mengatakan, penjualan aset BUMN bukan satu-satunya opsi yang akan dijalankan PTPN Holding, untuk membayar utang. “Kita punya banyak opsi untuk melunasi kewajiban,” kata Mohammad Yudayat.
Anggota BPK Achsanul Qosasi mengungkapkan, pihaknya telah mengaudit keuangan PTPN Holding. Hasilnya, PTPN Holding memiliki utang sebesar Rp 39 triliun per 31 Maret 2019. “Itu menjadi gabungan seluruh PTPN. Menjadi beban Holding, tidak bisa dipisah-pisahkan,” katanya kepada Gatra.com, (20/11/2019).
Achsanul Qosasi mengatakan, untuk menyelesaikan kewajiban korporasi, PTPN harus segera melakukan restrukturisasi terhadap utangnya. “Agar cash flow tidak terganggu,” katanya.
Mungkinkah Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat khawatir jika namanya dikaitkan dalam “pusaran korupsi” di PTPN III?***
Penulis wartawan senior FNN.co.id