Oleh Helfizon Assyafei
Hari ini mestinya hari pertama anak-anak masuk sekolah lagi. Bila situasi normal. Tapi situasi sejak Maret tahun lalu tak pernah normal lagi. Kurva data covid lebih banyak naiknya daripada turunnya.
Seperti hantu yang membuat kitapun diteror ketakutan terus-menerus. Hingga ruang kelas yang dirindukan para pelajar pun kembali hampa. Kosong. Hanya bangku-bangku kelas berbaris dalam diam. Sepi.
Fungsi ruang kelas yang mentransfer kebersamaan, interaksi sosial, prilaku, kontak langsung itu tak tergantikan oleh daring. Tapi sementara tak ada cara lain. Harus begitu dulu.
Dalam sejarah panjang liburan sekolah baru kali ini anak saya mengeluh karena tak dapat kembali ke sekolah. Keluhan yang takkan pernah saya dengar jika situasi normal. Malah sebaliknya; cepat kali rasanya libur berlalu.
Problem terbesar dari usia produktif seperti pelajar, mahasiswa dan penganggur atau pekerja yang terpaksa menganggur (dimenganggurkan oleh perusahaan dengan alasan covid) adalah kebanyakan waktu luang tanpa tahu apa yang harus dikerjakan.
Memberi tugas sebanyak-banyaknya pada siswa lewat daring juga tak terlalu membantu karena berujung jenuh dan bosan. Juga mencari pekerjaan atau berusaha sendiri di masa seperti ini tidaklah mudah.
Sehingga kata kawan saya muncul ‘sekte’ baru. Namanya ‘kaum rebahan’. Lebih banyak tidur daripada bangun. Bingung apa yang akan dikerjakan. Lalu bagaimana?
Di sinilah perlunya seorang leader (pemimpin) yang cakap. Bukan sekedar cakep. Yang kemampuannya diuji menyiasati hal ini. Misalnya bagaimana para pelajar bisa tetap sekolah tapi aman. Atau bagaimana rakyatnya tak lapar. Ia mestinya berfikir keras. Sebab untuk itulah ia diberi amanah.
Keponakan saya di Bukittingi misalnya tetap sekolah tatap muka. Caranya; kelas dibagi dua dengan sistem shift. Shift pagi dari jam 7.30 Wib-9.30 Wib. Shift kedua jam 10 Wib-12 Wib. Tentu dengan catatan bahwa kota itu misalnya status kasus covidnya minimal kuning. Kalau statusnya merah apalagi hitam maka daring adalah pilihan terbaik.
Menarik apa yang ditulis oleh kartunis dan novelis Kurt Vonnegut saat menggambarkan suasana hati manusia ketika perang dunia pertama meletus. Begini katanya; saat ini makhluk bumi yang berkembang paling maju pun merasakan hidup ini memalukan.
Ia menceritakan komedian Amerika yang paling gembirapun (di zaman itu) Mark Twain merasakan bahwa hidup bagi dirinya dan orang lain begitu menekan. Sehingga Mark menulis begini;
“Semenjak saya dewasa saya tak pernah menghendaki sahabat saya yang sudah meninggal hidup kembali.” Begitu getirnya hidup di masa itu. Semoga kondisi sekarang tidak sampai membuat kita seperti Mark.
Kemampuan kita merawat harapan masih akan terus diuji. Tapi jangan pernah membuat kita patah hati. Semenekan apapun kondisi, secuil hidup tetaplah berharga. Sebab, hidup memberi kita kesempatan untuk taubat (kembali ke jalan-Nya). Itu yang tidak bisa saat kita tidak lagi hidup.***
4 Januari 2021