Oleh: Dahlan Iskan
SAYA kaget dan tidak kaget membaca berita ini: Bupati Nganjuk ditangkap KPK. Yang muda, yang ganteng, yang beristri hafal Al-Quran, yang pengusaha, yang ketika jadi calon bupati mengaku tidak membayar mahar, dan seterusnya itu.
Saya kaget karena penangkapan itu kok terkait dengan pungutan jabatan di tingkat kecamatan. Begitu rendahnya. Begitu naifnya -kalau benar begitu.
Saya tidak kaget karena ini: setelah tulisan saya itu muncul, banyak sekali tanggapan yang masuk. Yang intinya: tulisan saya itu jauh panggang dari api.
Saya memang tidak sepenuhnya percaya dengan keterangan bupati itu. Dan itu tersirat juga di tulisan saya. Tapi, saya juga belum percaya pada tanggapan tersebut. Saya bertekad akan ke Nganjuk setahun kemudian. Setelah bupati baru itu menunjukkan kinerjanya dalam waktu yang cukup.
“Terus terang, saya kaget waktu baca tulisan beliau tentang Bupati Nganjuk. Tapi… kan sudah telanjur terbit… sehingga saya nggak bisa kasih klarifikasi yang sebenarnya,” tulis salah seorang warga Nganjuk kepada teman saya -yang meneruskan ke saya.
“Kenyataannya 360 derajat sebaliknya,” tulis warga Nganjuk lainnya. Mungkin maksudnya 180 derajat. Saking kesalnya, sampai derajat pun dilebih-lebihkan.
Sepanjang hari kemarin WA saya ikut dipenuhi soal penangkapan itu. Isinya masih begini dan begitu. Ada yang menilai penangkapan tersebut sudah tepat. Ada pula yang menyebut itu sandiwara.
Mungkin tulisan ini sebaiknya jangan dibuat dulu. Baiknya menunggu keterangan lebih lanjut. Terutama soal pungutan yang terkait jabatan itu. Apalagi, jabatan yang jadi objek hanya tingkat aparat kecamatan.
Sudah begitu mata gelapnyakah? Bukankah bisa menduga bahwa pungutan seperti itu akan dengan mudah terbongkar? Sebodoh itu cari uang? Bukankah ia pengusaha yang kelasnya bukan pungutan jabatan setingkat aparat di kecamatan?
Atau, apa yang lagi terjadi?
Saya sulit memahaminya.
Soal uang ratusan juta rupiah yang disita, kata seorang teman bupati, itu diambil dari brankas pribadi bupati. Yakni, uang untuk persiapan hadiah Lebaran.
Tapi, kalau benar bupati Nganjuk melakukan korupsi seperti itu, ia bupati kedua yang masuk pusaran korupsi. Ia juga orang kesekian yang tiba-tiba tidak bisa Lebaran di rumah karena ditahan.
Ia juga menjadi bupati yang ditangkap KPK setelah pernah mendapat pujian tinggi di media – seperti bupati Bantaeng yang ketika ditangkap menjabat Gubernur Sulsel.
Saya tidak menyesal pernah memujinya. Jangan-jangan, setidaknya sudah dapat satu pahala. Banyak orang yang tergerak untuk menjadi lebih baik dengan cara dipuji. Meski, ada juga yang menjadikan pujian itu kesombongan – yang membuatnya lengah.***