Oleh: Ina Ariani
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim, no. 2699). Dan “Barangsiapa yang keluar untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang,” (HR Tirmidzi).
Hadist di atas menerangkan kewajiban dan kemulian bagi para penuntut ilmu, jadi pengajian itu semata-mata ya belajar bukan yang lain, mending ikut kajian nek, daripada ribut bikin onar. Ketua Dewan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati menjadi sorotan setelah pidatonya dalam acara Seminar Nasional Pancasila dalam Tindakan : ‘Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting, Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan, Kekerasan dalam Rumah Tangga serta Mengantisipasi Bencana’ memicu kontroversi di media sosial (medsos).
Salah satu pidato yang menjadi kontroversi adalah ketika membahas masalah anak stunting. Beliau mengaitkan dengan aktivitas keagamaan kaum ibu, yang waktunya tersita untuk pengajian sehingga lupa mengurus anak. Alhasil, ia berpesan agar kaum ibu bisa membagi waktunya agar tidak habis untuk pengajian dan melupakan asupan gizi anak (18/2/2023). (REPUBLIKA.CO.ID)
“Maaf ya sekarang kan kayaknya budayanya, beribu maaf, jangan lagi nanti saya di-bully, Kenapa toh (ibu-ibu) seneng banget ngikut pengajian ya?” ungkap Megawati sebagaimana dikutip dari viva.co.id (18/2/2023).
Lebih lanjut ia mempertanyakan nasib anak-anak yang terlalu sering ditinggal ibunya mengikuti pengajian. “Maaf beribu maaf, saya sampek mikir gitu, ini pengajian sampek kapan tho yo, anake arep dikapakke (anaknya gimana)?”, tanyanya bernada heran bercampur kesal.
Namun, Megawati menegaskan dirinya tidak bermaksud untuk melarang ibu-ibu mengikuti pengajian. Hanya saja, Megawati meminta agar para ibu-ibu ini tetap mengutamakan keluarga, terutama dalam mengurus anak dan managemen rumah tangga.
Diketahui, Megawati telah beberapa kali melontarkan pernyataan kontroversial di muka publik. Tak ayal, pernyataannya kerap menjadi sorotan dan ‘rasan-rasan’ publik. Tak hanya pernyataan politis, tetapi juga soal profesi. Salah satunya yang pernah kontroversial beberapa waktu lalu, saat dirinya bercerita soal gurauan ketiga anaknya hendak mencari jodoh, Megawati menyebut tidak mau punya mantu tukang bakso.
Statement Megawati ini menarik untuk dipersoalkan. Masalahnya sikap sinisnya terhadap ‘kegemaran’ ibu-ibu (muslimah) untuk rajin ke pengajian seolah menegaskan bahwa dirinya mengidap ‘ngajifobia’. Bagaimana sikap kita?
Pengajian dalam Perspektif Islam
Islam menegaskan kedudukan menuntut ilmu agama (ngaji) sebagai fardhu ‘ain (kewajiban individu per individu). Allah Swt berfirman, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan , Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” ( Al-Alaq : 1-5)
Anjuran menuntut ilmu adalah dari buaian hingga liang lahad. “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (Hadits sahih, diriwayatkan dari beberapa sahabat diantaranya: Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu Anhum. Lihat: Sahih al-jami: 3913).
Abdullah bin Mubarok (118 H-181 H), seorang ulama yang terkenal sebagai lautan ilmu, ahli fikih dan hadis, pernah berkata, “Orang yang bakhil terhadap ilmu, akan diuji dengan tiga perkara: pertama, kematian sehingga menyebabkan ilmunya hilang; kedua, menjadi lupa; ketiga, dekat dengan penguasa, sehingga ilmunya menjadi lenyap.”
Beliau juga pernah berkata, “Aku heran dengan mereka yang tidak menuntut ilmu, bagaimana mungkin jiwanya bisa mengajak kepada kebaikan.”? [Siyar A’lam AN-Nubala 8/398 karya az-Zahabi]
Ngaji untuk Diamalkan
Pengajian itu adalah majelis ilmu. Menghadiri majelis ilmu akan menimbulkan ketenangan dan kebahagiaan yang mejadi tujuan seseorang hidup di dunia ini. Apabila niatnya ikhlas, maka ia akan merasakan ketenangan di majelis ilmu dan akan terus mencari majelis ilmu di mana pun ia berada.
Majelis ilmu adalah taman surga yang membuat seseorang merasakan ketenangan. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” [HR Tirmidzi, no. 3510, Ash Shahihah, no. 2562]
Harus diingat bahwa menghadiri majelis ilmu tidak sekadar wisata hati semata, tetapi sebagai jalan mendapatkan ilmu untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, hadirnya seseorang ke pengajian, seyogyanya adalah untuk menuntut ilmu agama, ilmu Islam. Islam telah sempurna diturunkan sebagai agama sekaligus sebagai pedoman hidup manusia, termasuk dalam urusan berumahtangga. Syariat Islam mencakup seperangkat aturan tentang menikah, mengasuh anak, dan managemen rumah, nafkah, termasuk hak-hak dan kewajiban suami-istri. Kalau hal ini tidak dipelajari dan dikaji dalam pengajian tadi, lantas bagaimana umat islam paham terhadap ajaran agamanya? Apalagi semangat literasi bangsa ini juga sangat rendah.
Tidak hanya teori, implementasi kehidupan rumah tangga yang ideal pun ada teladannya dalam Islam, yakni rumah tangga Rasulullah saw. dan para sahabat beliau serta orang-orang terdahulu yang mengikuti jejak mereka. Lagi-lagi, gambaran seperti ini juga lebih banyak didapatkan dari forum-forum pengajian dari pada semangat hasil membaca sendirian.
Melalui pengajian intensif, mereka memahami hukum-hukum Islam terkait hablum minallah, hablum minannafsi, dan hablum munannas. Pengajian adalah jawaban atas ketidaktahuan seseorang tentang hukum-hukum Islam terkait rumah tangga, pengasuhan anak, dll. Semua membutuhkan ilmu, dan ilmu itu tidak mereka dapatkan dalam dunia persekolahan yang hanya satu kali seminggu, itupun hanya dua jam.
Jamak diketahui, pada masa Islam, seseorang memiliki banyak guru dan banyak murid untuk saling berdiskusi tentang permasalahan dunia maupun akhirat. Ini menjadi pemandangan yang lazim pada masa kekhalifahan Islam. Tak heran, di era inilah kelimpahan ilmu mencapai puncaknya. Islam memimpin peradaban yang luhur dengan kualitas SDM yang multitalenta, berakhlak mulia dan jauh dari konflik dalam berkeluarga, jauh dari krisis generasi, jauh dari krisis multidimensi berjilid-jilid seperti hari ini.
Wajar dalam Sekularisme Pengajian di Persoalkan
Berbeda dengan kondisi hari ini ketika sekularisme menjadi cara pandang kehidupan. Kendati dia seorang muslim, tak jarang lisan dan perbuatannya ikut-ikutan orang kafir. Sekularisme yang tandus dari ruh keimanan dan ketakwaan, menyebabkan kehidupan keluarga rentan terpapar konflik, generasi terpapar pergaulan bebas, perzinaan semangkin marak, dan seabreg permasalahan lain yang menjadi PR tahunan tanpa penyelesaian.
Mengutip jawapos.com (20-2-2023), Angka perceraian di Indonesia terus menunjukkan tren kenaikan dalam 3 tahun terakhir. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, sebanyak 447.743 kasus perceraian pada pasangan beragama muslim terjadi pada tahun 2021. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 291.677 perkara. Mayoritas penyebab perceraian di negeri ini adalah akibat pertengkaran, dilansir katadata, (28-2-2022). Sementara itu, kasus perceraian yang terjadi dimotori oleh faktor ekonomi pada 2021 sebanyak 113.343 kasus dari total 447.743 kasus, Dikutip dari katadata.co.id, 21-6-2022.
Belum lagi persoalan pengasuhan yang hari ini banyak melahirkan generasi ‘gagal’ dari pada generasi sukses secara mental. Semua itu seakan menjadi pemandangan biasa dalam sistem sekuler yang kini diterapkan dalam kehidupan. Persoalan rumah tangga menjadi sangat kompleks. Oleh karenanya, membutuhkan managemen yang andal. Mulai dari managemen pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, dll.
Tidak dapat dielak, sistem sekuler hanya memberikan bukti-bukti palsu dalam mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, wa rahmah bagi umat islam. Sistem pendidikannya ambyar, sistem ekonominya kacau, sistem sosialnya rusak, sistem hukumnya pun amburadul. Hari-hari mereka diliputi kemurungan sosial akibat impitan hidup yang kian beragam.
Sistem Kapitalisme sekularisme menyebabkan pemahaman mereka tentang hukum-hukum seputar rumah tangga juga minim atau pas-pasan. Belum lagi habitat individualis dan pragmatis yang menambah rumit penyelesaian konflik. Orang cenderung memilih ‘biarin aja’, ‘bukan urusan saya’, dll. Akhirnya, budaya saling menasihati alias amar makruf nahi mungkar kian sirna.
Pengajian itu Relevan
Pengajian adalah jawaban atas peliknya persoalan rumah tangga dan persoalan kehidupan yang lainnya. Dengan mengkaji Islam secara menyeluruh, umat Islam akan memahami hakikat kehidupan dan memahami respons yang harus diberikan ketika menghadapi persoalan.
Pengajian adalah jalan keluar dari labirin persoalan yang lama mengakar. Pengajian ibarat oase di padang yang gersang, yang menyejukkan raga dan melepas dahaga pemikiran akibat sekularisme yang gersang akan iman. Dan pengajian itu adalah jalan kembali untuk dekat kepada Sang Pencipta Alam.
Banyak orang sadar hakikat dirinya setelah mengikuti pengajian dan intensif di dalamnya. Di forum pengajian inilah, umat disadarkan akan hakikat dirinya sebagai hamba Allah yang mengemban tugas mulia di muka bumi, baik sebagai anak, orang tua, maupun sebagai suami/istri. Dalam mengemban tugas tersebut, manusia diberi guideline berupa syariat kaffah yang harus dilaksanakan. Levelnya pun beragam, ada yang menyangkut urusan pribadi, ada pula yang mengatur urusan bermuamalah dalam masyarakat dan bernegara.
Oleh karenanya, ibu-ibu yang mengikuti pengajian itu seyogyanya didukung dan diapresiasi, bukan malah di kerdilkan. Faktanya, para ibu ini kebanyakan juga membawa anak-anak mereka ikut serta dalam acara, dengan tetap memedulikan kondisi rumah selama ia tinggalkan.
Jadi, sebaiknya berhenti su’uzon kepada ibu-ibu yang mengikuti pengajian. Lebih baik ikuti jejak mereka supaya seirama dalam nyanyian kehidupan rakyat yang sesungguhnya. Dalam mengemban mabda Islam.
Wallahu a’lam bishshawab***
Aktivis Muslimah Ideologis Pekanbaru