Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd
OPINI – Peringatan hari guru sebentar lagi dan diulang setiap tahunnya pada 25 November. Namun berjuta pasang mata dipertontonkan dengan akhlak generasi yang kian tak beradab. Tentu ini ada sebab musababnya. Lantas dimana peran kita sebagai penjaga generasi terutama peran guru dan negara? Haruskah kita sekedar menganggap alarm semacam ini sebatas kenakalan remaja saja?
Seorang nenek yang sedang berjalan kaki di pinggir jalan, didatangi segerombolan pelajar berseragam pramuka membawa sepeda motor. Namun, yang membuat geram adalah ketika salah satu pelajar sengaja menendang nenek itu bahkan menertawakannya. Ini menjadi citra buruk bagi dunia pendidikan saat ini. Pendidikan tak mampu mendidik generasi untuk memiliki adab dan akhlak yang mulia kepada lansia.
Dalam edaran rekaman yang membuat kita yang memandang berdecak geram adalah ketika pelajar yang notabennya adalah orang yang menerima ilmu, namun ilmunya tak mampu mempengaruhi akhlaknya.
Lima pelajar pelaku penganiayaan terhadap seorang nenek di Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara diamankan. Kelima pelajar itu adalah IH, ZA, VH, AR dan RM, merupakan warga Kabupaten Tapsel. (detik.com, 22/11/2022)
Kejadian ini menjadi wejangan kita penikmat berita online, namun pahitnya adalah perkara ini justru dianggap biasa dan cukup dengan meminta maaf saja. Dengan penggalan judul berita bahwa “Perwakilan Orang Tua Pelajar Penganiaya Nenek di Tapsel Minta Maaf”.
Dilansir Antara, Selasa (22/11/2022) permohonan maaf disaksikan Kasat Reskrim Polres Tapsel AKBP Paulus Robert Gorby Pembina dan Plh Kasi Humas Polres Tapsel Briptu Erlangga Gautama Nasution.
Bayangkan, jika nenek itu nenek kita, bahkan ibu kita. Tentu kita tidak senang ibu ataupun nenek kita diperlakukan tidak hormat semacam itu bukan. Dan kita sebagai penjaga generasi bangsa, perlu sadar, ada hal penting yang kita abaikan dalam membersamai generasi muda kita, yaitu pendidikan yang tidak ampuh memperbaiki generasi. Inilah PR kita bersama.
Pendidikan Sekuler Sebab Generasi Tak Beradab
Saat ini, generasi Muslim yang sekuler dan serba liberal hanya bisa jadi kaum pembebek, kaum rebahan, kaum gamers akut, bahkan acuh tak acuh dengan keadaan sekitar, apalagi umat dan negara. Jangan heran, jika generasi saat ini hanya berpikir tentang trend belaka, hingga tidak memandang, apakah itu haram atau halal dalam Islam? Atau minimal ada faedahnya atau tidak bagi dirinya dan agamanya? Sejatinya ini adalah alarm yang seharusnya membuat kita cemas, akan dibawa kemana anak cucu kita kelak, jika generasi yang ada di depan mata adalah generasi rusak?
Begitupun dengan perilaku tak beradab yang dilakukan pelajar tersebut sebelumnya. Ini adalah gambaran real bahwa pendidikan sekuler tak sekedar merusak ranah pendidikan dengan memberi beban pada guru hingga lelah tak menentu, juga turut merusak akal generasi kita dengan edukasi yang tak sesuai dengan visi misi surgawi.
Mirisnya saat ini, pelajaran agama di Sekolah hanya sekali dalam seminggu, itupun hanya bahas hal-hal umum yang belum tentu diterapkan dalam setiap kehidupan individu pelajar itu sendiri. Bahkan sejarah Islam masa lampau hanya untuk diingat dan digunakan ketika ujian, sehingga dalam kehidupan, benar-benar jauh dan bebas dari nilai Islam.
Tentu ini mendatangkan bahaya yang dampaknya sistemik, terlebih lagi jika generasi kita digiring untuk memiliki paham bahwa ajaran Khilafah tidak cocok dengan keberagaman di Indonesia, hingga muncul islamofhobia akut, yang makin menjauhkan generasi dari pendidikan Islam yang gemilang.
Guru, yang seharusnya mendidik generasi dengan adab yang melahirkan akhlak mulia justru kian disibukkan dengan perangkat pembelajaran dan sistem pembelajaran yang menyita banyak waktu, hingga generasi terbaik kita dicekoki begitu banyak informasi dan berujung miss komunikasi dan depresi. Bagaimanakah seharusnya pendidikan ini diarahkan?
Masa Kegemilangan Generasi Islam
Jika kita flashback ke masa lalu, masa kegemilangan generasi Islam, dimana Khilafah berhasil menciptakan dan mencetak generasi-generasi gemilang, yang menjadi pusat peradaban dunia pada masanya dan dielu-elukan bahkan oleh orang-orang kafir saat ini.
Prestasi generasi Islam yang menjadi ilmuwan muslim saat itu hingga kini pun masih menjadi rujukan, seperti ilmu kedokteran, ilmu aljabar, hingga ilmu astronomi. Itu semua hasil daripada penerapan syari’at Islam oleh Pemerintahan Islam (Daulah Khilafah). Sejarah daulah Madinah yang didirikan Rasulullah adalah bukti nyata.
Jika kita melihat masa-masa awal kejayaan Islam maka kita akan menemukan betapa Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Ketika pasca Perang Badar, Rasulullah Saw mengambil kebijakan membebaskan tawanan dengan syarat setiap tawanan mengajarkan baca tulis kepada sepuluh orang.
Pada saat Umar bin Khaththab menjadi kepala Negara, beliau mengapresiasi guru dengan gaji 15 dinar (63,75 gram emas dengan 978.000/gram) setara dengan Rp.62.347.500 (enam puluh dua juta sekian rupiah).
Negara Islam saat itu benar-benar memperhatikan kesejahteraan guru, dan melengkapi sarana dan prasarana pendidikan. Karena Negara Islam paham betul bahwa pendidikan rakyat adalah tanggung jawab negara.
Asas pendidikan pada saat itu adalah akidah Islam. Dan tujuan pendidikan adalah membekali akal dengan ide-ide yang sehat hingga menjadikan para penuntut ilmu sebagai muslim sejati yang memakai ilmu pengetahuannya dalam sendi-sendi kehidupan.
Untuk tsaqofah – yang merupakan gambaran hidup bagi umat, yang membentuk karakter kepribadiannya dan keberlangsungan eksistensinya, yang mengatur perjalanan hidup dan orientasi hidupnya – diajarkan sesuai keperluan, kemampuan, dan kemauan siswa. Hingga kesan terlalu berbelit-belit dalam menuntut ilmu tidak terjadi dalam sistem Islam.
Untuk tsaqofah asing, diajarkan sebatas pengetahuan saja, untuk dijadikan perbandingan yang tujuan utamanya adalah menguatkan keyakinan tentang kesempurnaan Islam. Namun fatalnya saat ini justru tsaqofah asing, yang mengajarkan kebebasan, perilaku tak beradab, foya-foya dan penganiayaan kepada sesama diadopsi sebagai bagian moderasi agama dan modernisasi pendidikan.
Para guru dirundung kesibukan yang tiada habisnya. Para siswa dicekoki informasi berlebihan yang tiada faedahnya bagi agamanya dan bagi perbaikan generasi bangsa. Dengan citra buruk pendidikan sekuler saat inilah, kita butuhkan adanya perubahan sistem kepada Sistem Islam kaffah.
Sistem yang diterapkan sebagai sistem pemerintahan bukan sebatas ritual semata. Pemahaman tentang penerapan syari’at Islam secara menyeluruh dalam kehidupan inilah harapan kita untuk mengantarkan generasi mengerti adab dan terlahir generasi dengan akhlak mulia.
Bahkan di dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), tergambar jelas bahwa keberagaman dan toleransi antar umat beragama dijaga supaya tetap damai. Keadilan hukum pun tak pandang status, apalagi terhadap generasi yang notabene merupakan aset peradaban. Generasi muda akan dididik sebaik mungkin dan dibekali oleh ilmu Islam agar siap menjadi generasi peradaban Islam yang gemilang. Karena kita butuh generasi perubahan, bukan rebahan. Generasi yang berideologikan Islam, bukan dengan ideologi sekuler. Yang hidupnya didedikasikan pada Islam, bukan malah hidup bebas tak terbatas ala liberal.
Kita butuh calon pemimpin yang adil dan mensejahterakan umat, bukan pemimpin yang pilih kasih dan menyengsarakan dengan kelakuan yang suka mengoleksi para koruptor. Karena kita adalah sebaik-baik umat peradaban, dan sebaik-baik peradaban dan negara adalah Khilafah. Maka kita kembalikan prestasi kegemilangan kita oleh Islam kaffah dalam sistem Khilafah. Wallahu A’lam bish-shawab.***
Penulis, Pegiat Literasi Islam, Selatpanjang – Riau