Senin, 25 November 2024

DN Aidit Mengirim Surat untuk Soekarno Dalam Pelariannya Setelah G30S PKI Gagal

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Presiden Soekarno bersama tokoh PKI DN Aidit.

Jakarta (Riaunews.com) – Hari kedua setelah G30S PKI, pada 2 Oktober 1965 pukul 01.00, Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit bergegas.

Aidit sepenuhnya sadar, bahwa rangkaian aksi militer mereka telah tamat, ia disarankan para koleganya segera meninggalkan ibu kota.

Peneliti asal Amerika Serikat, Victor M. Fic dalam bukunya “Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi”, menceritakan bagaimana pelarian Aidit dilakukan usai G30S PKI tumbang.

Sjam Kamaruzzaman, pimpinan Biro Khusus PKI, meminta Sujono agar mendekati Marsekal Omar Dhani untuk meminta sebuah pesawat bagi Aidit.

Sujono melapor kembali menjelang pukul 23.00, 1 Oktober 1965, bahwa ia telah mendapatkan sebuah pesawat, dan saat itu juga diputuskan Aidit harus pergi ke Yogyakarta, ditemani oleh sekretarisnya, Kusno dan Walujo.

“Segera setelah pesawat diisi bahan bakar dan siap, Sjam mengeluarkan Aidit dari rumah Suwardi dan membawanya ke landas pacu untuk menaiki pesawat itu, yang tinggal landas pada pukul 1.00 pagi tanggal 2 Oktober 1965 dengan tujuan Yogyakarta.” tulis Victor.

Pemimpin Partai Komunis Indonesia DN Aidit (istimewa) Aidit melarikan diri ke Yogyakarta dengan sejumlah rencana, diantaranya membuat pemerintahan darurat Dewan Revolusi di Yogyakarta, mengevakuasi presiden Soekarno ke Yogyakarta dan memulai suatu “counter-offensive revolusioner” melawan Soeharto dan Nasution yang mendominasi Jakarta dan Jawa Barat.

Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi, dalam tulisannya berjudul “PKI Dibalik Gerakan 30 September 1965” BAB IV Buku Malam Bencana 1965, menceritakan bagaimana proses pelarian Aidit ke Yogyakarta itu dilakukan.

Adalah Letnan Udara Aries, sosok yang diperintahkan Marsekal Omar Dhani melalui Komandan Wing Operasional 001 Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim, Kolonel Wisnoe, untuk melakukan penerbangan VIP dengan sebuah pesawat Dakota T-443 membawa Aidit ke Yogyakarta.

Waktu itu jarak Yogyakarta-Halim ditempuh dalam waktu 2 jam penerbangan dengan menggunakan pesawat berbaling-baling.

Dalam penerbangan menuju ke Yogyakarta, Letnan Satu Aries, rupanya tidak berhasil melakukan hubungan radio dengan PAU Adi Sutjipto karena lampu landasan tidak menyala.

Selama 30 menit pesawatnya hanya berputar-putar di sebelah timur laut pangkalan Adi Sutjipto.

“Tatkala pesawat menggeser holding di sebelah timur pangkalan, tiba-tiba lampu landasan menyala. Ternyata sandi intelijennya, apabila pesawat pesawat holding di sebelah timur pangkalan, berarti pesawat kawan, dan Aries tidak mengetahuinya.” tulis Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi.

Setelah tiba di Yogyakarta, Aidit kemudian menuju ke rumah Ketua CDB PKI Yogyakarta.

Dalam pertemuan darurat dengan para pimpinan PKI di Yogyakarta, Ia melaporkan secara rinci peristiwa yang terjadi pada hari sebelumnya dalam kudeta G30S PKI di Jakarta.

Pertemuan memutuskan bahwa PKI cabang provinsi akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Presiden Soekarno.

Aidit kemudian meninggalkan Yogyakarta menuju Semarang, tempat Lukman, Sujono Atmo dan pemimpin puncak PKI provinsi mengadakan pertemuan darurat.

Pada larut petang tanggal 2 Oktober, Aidit dan Lukman berangkat menuju Boyolali dan kemudian Solo, tempat pertemuan juga diadakan dengan pimpinan partai provinsi dan pimpinan militer.

Namun, di Solo, Aidit tidak berhasil mendapat persetujuan partai untuk menerima keputusan pertemuan Semarang.

Pada 6 Oktober, saat berada di Blitar Jawa Timur, Aidit diketahui mengirimkan surat kepada Presiden Soekarno.

Dalam surat tersebut, Aidit menyangkal bahwa ia mengetahui peristiwa penculikan para jenderal Angkatan Darat. Ia menceritan kronologis peristiwa versi dirinya sendiri.

Surat Aidit kepada Presiden Sokarno tersebut dipublikasikan oleh peneliti asal Amerika Serikat, Victor M. Fic dalam bukunya “Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi”, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia 2007 dan diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin, Bernard Hidayat dan Masri Maris.

Aidit dalam surat itu memberikan sejumlah pembelaan, seolah-seolah kasus penculikan dan pembunuhan para Jenderal Angkatan Darat tersebut adalah konflik internal di tubuh Angkatan Darat, tidak melibatkan PKI.

Ia juga mengatakan bahwa dirinya juga baru mendapatkan info soal rencana penangkapan para Jenderal Angkatan Darat pada malam 30 September 1965.

“Tanggal 30 September tengah malam saya diambil oleh orang yang berpakaian Cakrabirawa (tidak saya kenal) dengan keterangan: dipanggil ke Istana untuk sidang darurat kabinet, tetapi kendaraan tersebut menuju ke jurusan Jatinegara.” tulis Aidit.

“Kemudian pindah mobil terus menuju ke sebuah kampung dan ditempatkan di sebuah rumah kecil. Di situ saya diberi tahu bahwa akan diadakan penangkapan terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal.” lanjutnya.

Aidit juga mengatakan, dalam “perjalanannya” ke Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur bertujuan untuk mencegah aksi saling bunuh sesama Angkatan Darat.

“Saya sekarang ada di Jawa Timur dengan tujuan membantu mencegah pertempuran bersenjata dalam Angkatan Darat, membantu mencegah bunuh-membunuh akibat provokasi golongan yang komunisto phobi dan membantu supaya pemerintah daerah dan kehidupan politik berjalan sebagaimana biasa.” tulis Aidit dalam suratnya.

Victor M Vic menulis, bahwa surat Aidit pada Soekarno tersebut hanyalah upayanya untuk memisahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan kasus penculikan para Jenderal AD.

“Ia mencoba menghapus jejak kehadirannya di Halim dengan cerita palsu bahwa ia dibawa ke sebuah kampung dan kemudian dibawa ke Yogyakarta untuk melakukan persiapan-persiapan untuk mengevakuasi Presiden dan “Pemerintahan Sementara” ke kota itu,” ungkap Victor.

Aidit juga menggambarkan kegiatan-kegiatannya mencetuskan gejolak revolusi di Jawa sebagai upaya untuk meredakan persoalan di dalam tubuh Angkatan Darat dan untuk mencegah meledaknya kekerasan di provinsi.

“Ia menutup-nutupi kegiatan-kegiatannya untuk menggulingkan Pemerintah Provinsi di Jawa Tengah dengan memberikan informasi yang bertentangan dengan kenyataan kepada Presiden, yaitu bahwa ia mendorong pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan dan tanggung jawabnya seperti biasa.” tulis Victor M Vic.

Hanya berselang satu bulan setelahg surat itu ditulis, tanggal 22 November 1965, Aidit akhirnya ditangkap di Solo oleh pasukan dari Brigade 4 Kodam Diponegoro pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto.

Keesokan harinya Aidit dibawa ke Boyolali, di sana di sebuah sumur tua di kawasan Batalyon 444, Aidit diminta menyampaikan pesan terakhirnya, sebelum akhirnya dieksekusi mati ditempat itu pada pagi buta 23 November 1965. Usai sudah kisah pelarian Ketua Central Committee PKI itu.***

Sumber: tvOne

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *