Senin, 25 November 2024

KPK Ingatkan Saksi Kasus Suap HGU di BPN Riau agar Kooperatif

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Plt juru bicara KPK Ali Fikri.

Jakarta (Riaunews.com) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan saksi kasus dugaan suap pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari (AA) di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau kooperatif. Ada enam saksi yang dipanggil penyidik tapi tidak hadir.

Para saksi itu dipanggil agar memberikan keterangam untuk mantan Kepala Kanwil BPN Riau M Syahrir. Keterangan mereka sangat diperlukan untuk melengkapi berkas perkara tersangka.

KPK resmi mengumumkan penetapan tersangka terhadap M Syahrir pada Kamis, 27 Oktober 2022. Dia ditahan selama 20 hari terhitung tanggal 1 sampai 20 Desember 2022 di Rutan KPK pada Kavling C1 gedung ACLC.

Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, pada Selasa (6/12/2022), penyidik memanggil tiga saksi untuk hadir di gedung Merah Putih KPK. Mereka adalah M Deni Siddik selaku pihak swasta, Muh Ismunandar selaku PNS di Kanwil BPN Riau dan Suhartono selaku General Manajer PT RAKA.

Penyidik KPK juga memanggil tiga saksi pada Rabu (7/12/2022), agar hadir untuk memberikan keterangan. Mereka adalah Adji Abimayu selaku pihak swasta, Firdaus Fibry, dan Muhammad Haris Kampay selaku wiraswasta.

“Informasi yang kami terima, para saksi tersebut tidak hadir dan tidak mengonfirmasi alasan ketidakhadirannya,” ujar Ali Fikri, Kamis (8/12/2022), dikutip dari cakaplah.

Ali Fikri menegaskan, pemanggilan secara patut terhadap para saksi sudah dilakukan oleh penyidik. Untuk itu, dia mengingatkan para saksi agar kooperatif

“Pemanggilan patut juga sudah disampaikan Tim Penyidik. KPK mengingatkan agar pihak-pihak yang dipanggil sebagai saksi untuk kooperatif hadir,” tegas Ali Fikri.

Penetapan tersangka terhadap M Syahrir berdasarkan pengembangan penyidikan perkara yang menjerat mantan Bupati Kuantan Singingi, Andi Putra. Selain M Syahrir, KPK juga menetapkan Frank Wijaya selaku Pemegang Saham PT AA dan juga Sudarso, General Manager PT AA sebagai tersangka.

Sebelumnya, Ali Fikri menjelaskan konstruksi perkara dugaan korupsi ini. Berawal Frank Wijaya sebagai pemegang saham PT AA memerintahkan dan menugaskan General Manager PT AA, Sudarso, untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU PT AA yang segera akan berakhir masa berlakunya pada 2024.

Dari awal proses pengurusan HGU tersebut, Sudarso selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya pada Frank Wijaya.
KSudarso menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan M Syahrir Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau yang membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT AA.

Pada Agustus 2021, Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Provinsi Riau.

Sudarso menemui M Syahrir di rumah dinas jabatannya. Dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh M Syahrir sekitar Rp3,5 miliar dalam bentuk dollar Singapura. Pembagiannya 40 persen sampai dengan 60 persen sebagai uang muka.

Atas permintaan itu, M Syahrir menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA.Hasil pertemuan itu dilaporkan Sudarso ke Frank Wijaya, sekaligus mengajukan permintaan uang sebesar 120 ribu dollar Singapura atau setara dengan Rp1,2 miliar ke kas PT AA dan disetujui oleh Frank Wijaya.

Sekitar September 2021, atas permintaan M Syahrir, penyerahan uang dari Sudarso dilakukan di rumah dinas MS dan MS juga mensyaratkan agar SDR tidak membawa alat komunikasi apapun,” kata Ali Fikri.

Setelah menerima uang tersebut, M Syahrir kemudian memimpin ekspos permohonan perpanjangan HGU PT AA. Dia menyatakan usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Bupati Kuantan Singingi, Andi Putra.

“Terkait penerimaan uang, diduga MS memiliki dan menggunakan beberapa rekening bank dengan menggunakan nama kepemilikan di antaranya para pegawai Kanwil PBN Riau dan pegawai kantor pertanahan Kabupaten Kampar,” jelas Ali Fikri.

Pada medio September 2021 sampai dengan 27 Oktober 2021, M Syahrir menerima aliran sejumlah uang baik melalui rekening bank atas nama pribadinya maupun atas nama dari beberapa pegawai BPN tersebut sejumlah sekitar Rp791 juta yang berasal dari Frank Wijaya.

“Selain itu pada kurun waktu tahun 2017 sampai dengan tahun 2021, MS juga diduga menerima gratifikasi sejumlah sekitar Rp9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi dan hal ini akan terus didalami dan dikembangkan tim penyidik,” jelas Ali Fikri.

Atas perbuatannya, M Syahrir sebagai penerima suap atau gratifikasi dijerat melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *