Mahasiswa FKK UMJ Temukan Alternatif Makanan Pengidap Diabetes Melitus

 

 

Jakarta (Riaunews.com) – Siapa tak kenal penyakit diabetes melitus? Masyarakat umumnya menyebut penyakit ini dengan kencing manis. Diabetes melitus menjadi salah satu di antara beberapa penyakit penyebab kematian. Bahkan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan diabetes melitus sebagai salah satu pembunuh senyap atau silent killer.

Penyakit yang memiliki kompleksitas cukup tinggi ini mengakibatkan proses pengobatan yang juga kompleks dan berbiaya mahal.

Beberapa obat diabetes melitus memiliki harga yang tidak murah. Namun, kendala tersebut bisa diatasi dengan inovasi yang ditemukan Razandinta Tafshiilaa Lubna, mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKK UMJ).

Razandinta Tafshiilaa Lubna berhasil menemukan makanan yang dapat menjadi alternatif untuk dikonsumsi oleh pengidap diabetes melitus. Makanan tersebut adalah tempe himetan.

Dinta, sapaan akrabnya, menemukan formula tempe yang dibuat dari tiga jenis kacangkacangan yaitu kacang hijau, kacang merah, dan kacang tanah yang kemudian disingkat menjadi himetan.

Formula dan inovasi tempe miliknya ini sudah mendapat medali dari berbagai kejuaraan internasional.

Prestasi terbaru pada 2023, Dinta meraih medali perak dalam ajang Indonesia Inventors Day (IID) 2023 yang digelar di Universitas Udayana, Bali, 16-19 September 2023.

Tempe himetan masuk ke dalam kategori food and biotechnology yang bisa dimakan oleh siapa saja. Menurut dosen pembimbing Dinta selama penelitian di FKK UMJ, dr. Resna Murti Wibowo, Sp.PD., FINASIM, M.Kes., tempe himetan merupakan makanan yang dapat menjadi obat.

“Prinsipnya apa yang dimakan menjadi obat. Jadi bukan percobaan ke manusia tapi seberapa manfaat makanan ini kepada manusia apabila dimakan?” kata Resna.

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan manfaat tempe himetan dengan obat-obatan diabetes melitus.

Sebelumnya percobaan in vivo pada mencit atau tikus menunjukkan bahwa tempe himetan memiliki efek yang baik dan signifikan. Kemudian penelitian berlanjut secara in sillico, diuji coba lagi dengan membandingkan senyawa protein yang terkandung dalam tempe himetan.

Pada 2023 penelitian dilakukan untuk membandingkan tempe dan akar bos yaitu obat yang sifatnya mengikat gula. Biasanya pengidap diabetes melitus mengonsumsi obat ini secara langsung setelah makan. Dampaknya gula diikat oleh kandungan akar bos dan tidak masuk ke dalam darah, kemudian keluar melalui feses. Efek samping yang dihasilkan adalah flatus (kentut) yang sangat berbau.

“Ternyata pada saat cek secara in silico, tempe himetan ini memiliki efek yang hampir sama dan setara dengan akar bos. Maka kalau setara secara in silico, artinya kita dapat menggunakan tempe himetan sebagai pengganti akar bos. Tempe himetan menjadi obat. Pengidap diabetes melitus tidak perlu makan akar bos, makan saja tempe himetan yang dari segi harga jauh lebih murah,” kata Resna.

Sementara itu penelitian kedua yang dilakukan pada 2023, Dinta menghasilkan alur hilirisasi tempe himetan menjadi sebuah produk. Dalam alur hilirisasi yang digambarkan, temuan Dinta dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan menjadi salah satu sumber kekayaan karena ketersediaan kacang yang sangat banyak di Indonesia dan manfaat yang luar biasa. Penelitian ini mendapat medali emas pada ajang WSEEC 2023 di Universitas Pancasila.

Penelitian ketiga pada 2023 dilakukan dengan membandingkan tempe himetan dengan obat golongan sitagliptin. Obat tersebut digunakan pada pengidap diabetes melitus tipe 2 yang harganya cukup mahal. Dinta melakukan penelitian secara in sillico dan menunjukkan bahwa tempe memiliki efek yang sama dengan sitagliptin.

“Artinya tempe bisa menjadi pengganti sitagliptin dan biayanya jauh lebih hemat. Makan tempe berefek pada perbaikan kadar gula darah,” tambah Resna.

Penelitian ini telah dilakukan sejak ia masih duduk di kelas 2 SMA pada 2018 silam. Kesukaannya akan tempe menjadi salah satu dorongan bagi Dinta belajar membuat tempe sekaligus mempelajari kandungan gizi dan manfaat dari tempe.

Jenis kacang-kacangan yang mudah ditemukan dan ketersediaan yang cukup banyak di Indonesia menjadi potensi dan peluang untuk memproduksi tempe.

Tidak hanya membuat tempe dari satu jenis kacang, Dinta mencampurkan ketiga jenis kacang yang diklaim memiliki manfaat mengurangi kadar glukosa darah.

“Dari berbagai literatur itu maka saya berpikir, kenapa tidak dicampur saja 3 jenis kacang ini menjadi sebuah tempe? Saya rasa mungkin bagus dalam mengurangi kadar gula darah,” ungkap Dinta.

Sebelum menemukan formulasi tempe himetan, Dinta terlebih dahulu membuat tempe dari satu jenis kacang.

Selain kacang hijau, kacang merah, dan kacang tanah, Dinta mengaku pernah mencoba membuat tempe dari petai cina. Namun hasilnya menurut Dinta tidak memuaskan karena tampilan yang tidak cukup cantik. Dinta meyakini penampilan sebuah makanan menjadi nilai selain dari rasanya yang enak.

Dinta mengaku mulai berani mengklaim bahwa tempe himetan bermanfaat menjadi alternatif makanan pengidap diabetes setelah ia melakukan percobaan awal yang dilakukan pada mencit atau tikus di sebuah laboratorium.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa tikus yang sudah diinjeksi dengan glukosa kemudian diberikan ekstrak tempe menunjukkan signifikansi yang baik dari segi kadar gula.

“Maka dari itu saya berani bilang tempe himetan memiliki efek untuk menurunkan kadar gula darah setelah hasil laboratorium itu keluar,” katanya.

Potensi Dinta dalam melakukan penelitian terlihat oleh guru mata pelajaran Kimia pada saat SMA. Sejak saat itu, Dinta dibimbing untuk mengikuti perlombaan. Penelitian tempe himetan ini pun berlanjut saat menjadi mahasiswa FKK UMJ.

Hal ini juga diakui oleh dosen pembimbing Dinta selama meneliti tempe himetan di FKK UMJ yaitu dr. Resna Murti Wibowo, Sp.PD., FINASIM, M.Kes. Ia menilai Dinta memiliki potensi dan kemampuan di atas rata-rata mahasiswa FKK UMJ pada umumnya karena tidak hanya fokus menyelesaikan studi tapi juga mengarah untuk menjadi peneliti dan
cendekiawan.

Penemuan Dinta ini dinilai Resna sebagai bagian dari jihad karena berupaya membuktikan khasiat sebuah makanan secara ilmiah. “Kalau obat-obatan herbal itu kebanyakan bukti empiris. Target penelitian ini menegakkan secara bukti ilmiah. Pada saat kita membenarkan. (*/hft)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *