Jakarta (Riaunews.com) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah jadi sorotan. Salah seorang oknum penyidik KPK dari Polri, AKP Stepanus Robin Pattuju jadi tersangka dalam dugaan suap penanganan perkara Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara Tahun 2020-2021.
Terkait itu, eks Juru Bicara KPK sekaligus pegiat anti korupsi Febri Diansyah menilai fenomena kontroversi KPK sudah terjadi sejak akhir 2019. Menurut dia, salah satu pemicu kontroversi ini karena revisi terhadap UU KPK.
“Memang tidak semuanya berkonsekuensi langsung akibat revisi UU KPK. Tetapi beberapa kontroversi-kontroversi yang baru itu tidak bisa kita lepaskan dari dua fenomena umum ya. Pertama dari revisi UU KPK sendiri, dan yang kedua pemilihan pimpinan KPK yang awalnya memang kontroversi dan banyak sekali kritik di publik,” kata Febri, dalam Apa Kabar Indonesia Malam tvOne yang dikutip VIVA, pada Ahad (25/4/2021).
Dia bilang dengan dua hal itu, kontroversi KPK terus bermunculan. Ia tak heran dengan kasus yang menjerat AKP Stepanus dalam dugaan pusaran suap Wali Kota Tanjung Balai. Sebelumnya, ada pegawai KPK yang terbukti di sidang etik menggelapkan emas hampir dua kilogram.
Pun, ia bilang ada bukti yang hilang sehingga membuat penggeledahan gagal dilakukan oleh KPK. Febri juga menyoroti langkah KPK soal menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus BLBI. Padahal, kasus itu menyebabkan dugaan kerugian negara yang ditaksir Rp4,58 triliun.
“Ada banyak lagi revisi struktur kemudian rencana kenaikan gaji pimpinan. Bahkan pelanggaran etik Ketua KPK sendiri yang sudah terbukti. Dan, Harun Masiku yang tidak pernah ditemukan sampai dengan saat ini. Deretan kontroversi itu terjadi dalam waktu tidak terlalu lama sebenarnya di KPK,” jelas Febri.
Dengan kondisi tersebut, ia menilai wajar bila publik melihat ada yang salah di KPK. Salah satu persoalan yang disinggungnya terkait izin penggeledahan yang berlapis-lapis sejak revisi UU KPK.
“Sekarang, KPK sudah tidak bisa lagi melakukan penggeledahan dalam keadaan mendesak. Dulu KPK bisa ketika ada alat bukti yang dikhawatirkan akan berpindah maka bisa dilakukan penggeledahan dalam keadaan mendesak,” tutur Febri.
Kemudian, dengan kewenangan SP3 yang dimiliki KPK saat ini dikhawatirkan akan jadi ladang potensial transaksional. Febri menyarankan ada pembenahan serius terhadap KPK agar tak membusuk dari dalam.
Ia juga menyindir keberadaan Dewan Pengawas atau Dewas terutama dalam mendeteksi perkara dugaan suap Wali Kota Tanjungbalai.
“Dewas mampu nggak mendeteksi kejadian yang sejak 6 bulan lalu ketika ada pertemuan dengan salah satu pimpinan DPR RI terkait perkara ini. Ternyata nggak mampu kan. Baru kali ini,” ujar Febri.***
Sumber: Viva