Jakarta (Riaunews.com) – Partai Nasdem tak terima disebut ‘bermuka dua’ oleh kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Gilbert Simanjuntak. Nasdem pun melawan balik ‘serangan’ tersebut. Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya menyebut PDIP merupakan partai besar yang kelakuannya justru seperti anak-anak.
“Kalau PDIP, partai boleh besar, tapi kelakuan kekanak-kanakan,” kata Willy kepada wartawan di Nasdem Tower, Jakarta Pusat, Jumat (2/6/2023).
Sebelumnya, Kepala Badiklatda PDIP DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak menyebut Nasdem tidak konsisten dan bermuka dua. Sebab, Nasdem mengaku berkomitmen mendukung dan mengawal Pemerintahan Jokowi sampai tuntas, tapi diam saja ketika Anies Baswedan mengkritik panjang jalan yang dibangun selama rezim Jokowi.
“Sikap inkonsisten dan dua muka Nasdem ini padahal berada dalam kabinet, sangatlah tidak etis. Sebaiknya Nasdem menunjukkan sikap politik yang jelas. Lebih baik keluar dari kabinet, atau menegur Anies sebagai bukti masih mendukung/mengawal pemerintahan saat ini,” kata Gilbert, dikutip dari keterangan tertulisnya.
Permintaan keluar dari partai pendukung Pemerintahan Jokowi sekaligus mundur dari kabinet tersebut dinilai Willy sikap kekanak-kanakan. PDIP, menurut dia, melupakan begitu saja jasa besar Nasdem selama ini untuk Jokowi. Ia pun tak terima Nasdem disebut bermuka dua.
“Apa yang bermuka dua? PDIP kacang lupa pada kulitnya. Yang menjadi modalitas Jokowi di periode pertama Jokowi-JK dan periode ke-2 Jokowi-Ma’ruf Amin itu adalah PDIP dan Nasdem,” kata Willy dengan nada suara meninggi dan muka memerah. “Jokowi lahir dari gedung ini. Jokowi adalah Nasdem. Ibaratnya ibunya PDIP, bapaknya NasDem,” kata Willy menambahkan.
Dia menjelaskan, Nasdem dan PDIP merupakan partai yang berjasa besar memenangkan Jokowi dan mendukung Pemerintah Jokowi sejak tahun 2014. Dia mengibaratkan Nasdem sebagai ayah dan PDIP sebagai ibu yang bersama-sama melahirkan anak bernana Jokowi.
Tentu, kata dia, Nasdem tidak bisa begitu saja meninggalkan anak yang sudah dilahirkan dan dibesarkan itu. Nasdem berkomitmen mengawal Pemerintahan Jokowi sampai tuntas. Dia lantas mengatakan bahwa Nasdem mengusung Anies Baswedan sebagai capres dalam rangka melaksanakan tugas konstitusional partai politik. Selain itu, Jokowi tidak bisa lagi menjadi capres.
Menurut Willy, pernyataan pimpinan PDIP DKI Jakarta itu merupakan ‘provokasi recehan’. Padahal, Nasdem selama ini tidak pernah melakukan provokasi ketika PDIP menolak rancangan undang-undang yang diusulkan Pemerintahan Jokowi. “Kami tidak bilang ‘kenapa PDIP tidak keluar dari kubu pemerintah’. Kami tidak kekanak-kanakan seperti itu,” kata wakil ketua Badan Legislasi DPR RI itu.
Willy menegaskan, PDIP tidak bisa memaksa Nasdem keluar dari Kabinet Pemerintahan Jokowi. Hanya Jokowi sendiri lah yang bisa menendang Nasdem keluar. “Kalau Presiden mengatakan ‘cau’ (keluar dari koalisi pemerintah), maka Nasdem akan taat dan patuh. Bukan PDIP. Bertepuk ini tidak bisa sebelah tangan,” kata Willy.
Kalau Presiden mengatakan ‘cau’ (keluar dari koalisi pemerintah), maka Nasdem akan taat dan patuh. Bukan PDIP.
Nasdem sebelumnya juga sebelumnya terang-terangan menyerang Presiden Jokowi. Ketua DPP Partai Nasdem Sugeng Suparwoto mengatakan, banyak suara kekhawatiran usai Presiden Jokowi yang mengaku cawe-cawe atau ikut campur. Jangan sampai kekhawatiran banyak pihak itu benar dan memunculkan potensi penyalahgunaan kewenangan dari pimpinan negara tersebut.
“Tidak lantas abuse of power, nah catat itu. Mudah-mudahan cawe-cawe yang dimaksud bukan abuse of power, kalau ini terjadi, mundur kita, setback,” ujar Sugeng di kantor Sekretariat Perubahan, Jakarta.
Partai Nasdem yang saat ini masih tergabung dalam koalisi pemerintahan Jokowi mengeklaim masih berpikir positif terkait cawe-cawe Jokowi. Sugeng berharap, ikut campur Jokowi memang dalam rangka kepentingan bangsa, seperti pemulihan ekonomi dan terselenggaranya Pemilu 2024 yang baik.
Indonesia, lanjut Sugeng, harus mampu menghadirkan demokrasi yang benar-benar dilaksanakan secara substansial dan konstitusional. Bukan semata-mata demokrasi prosedural yang hanya menekankan pada mekanismenya saja.
“Apa maksudnya demokrasi substansial? Dalam hal misalnya pencalegan pencapresan biar gagasan yang beradu di permukaan. Pak Anies misalnya dengan tema tagline besarnya adalah keadilan, nanti kan kita breakdown, kami tim kecil itu yang bertugas mem-breakdown apa sih keadilan itu dari sisi ekonomi, politik, sosial, budaya,” ujar Sugeng.
Namun, kata Sugeng, jika ikut campurnya Jokowi terkait Pemilu 2024 benar, akan ada potensi tak netralnya alat-alat negara jelang hingga berakhirnya kontestasi. “Bayangkan kalau presiden betul-betul cawe-cawe, dia sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara yang dia adalah punya alat negara. Kita bisa bayangkan kalau dia lantas tidak netral, aparat lantas tidak netral, itu kan menjadi kekhawatiran kita,” ujar Sugeng.
Kekhawatiran tersebut bukan hanya terkait Pilpres 2024, tetapi juga bersinggungan langsung dengan demokrasi di Indonesia. Banyak pakar dan intelektual juga menolak sikap Jokowi yang terlalu ikut campur terkait kontestasi nasional mendatang.
“Seharusnya presiden tidak cawe-cawe, tidak intervensi, harus netral. Mungkin orang membandingkan di dunia lain, sekali lagi, konstitusi kita berbeda, konstitusi kita jelas mengamanatkan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara kedudukannya sebagai dalam konteks politik dia harus netral,” ujar ketua Komisi VII DPR itu.
Hubungan Nasdem dengan PDIP dan Presiden Jokowi memang merenggang sejak partai yang dipimpin Surya Paloh itu resmi mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres. Beberapa waktu lalu, mantan menkominfo Johnny Plate juga ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi BTS 4G BAKTI Kemenkominfo. Rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut membuat hubungan Nasdem dengan Jokowi dan PDIP semakin panas adem.***
Sumber: Republika