Oleh: Hersubeno Arief
DI media sosial saat ini tengah berlangsung pertempuran seru. Perang kata (TwitWar), perang tagar antara penentang dan pendukung Presiden Jokowi.
Di Twitter sejak kemarin sudah bergema tagar #TangkapAnakPakLurah.
Tagar itu wora wiri di lini masa, menjadi trending topic. Paling banyak cuit, di-mention, dan diretweet.
#TangkapAnakPakLurah dipicu laporan utama majalah Tempo pekan ini. Judulnya: Korupsi Bansos Kubu Banteng.
Dalam artikel Tempo disebutkan, jatah pembuatan goodie bag alias kantong kemasan untuk paket Bansos milik “Anak Pak Lurah.”
Frasa Anak Pak Lurah ini mengacu pada Gibran, putra Jokowi yang baru saja memenangkan Pilkada Solo.
Perusahaan tekstil raksasa PT Sritex mendapat jatah pembuatan 1,9 juta kantong kemasan, berkat rekomendasi “Anak Pak Lurah.”
PDF, screenshot majalah Tempo menyebar dengan cepat di media sosial. Media-media online juga ikut rame-rame memberitakannya.
Gabungan pemberitaan Tempo, pemberitaan media online yang massif dan tagar #TangkapAnakPakLurah ini, rupanya membuat gerah kubu pendukung Presiden Jokowi.
Sejak Senin pagi (21/12) tagar #TempoMediaASU mulai bergema. Masuk dalam trending topic Indonesia, namun belum bisa mengalahkan #TangkapAnakPakLurah.
Riuh rendahnya pemberitaan dan tagar Anak Pak Lurah ini juga membuat Gibran gerah. Dia menantang agar KPK segera menangkapnya. “Silakan tangkap kalau ada bukti,” tantangnya.
Melihat pilihan kosa kata ASX, kita sesungguhnya sudah bisa menduga siapa yang bermain di belakang tagar ini.
Kosa kata itu khas gaya Jawa Tengahan, khususnya Kota Solo. Kata itu adalah sebuah makian. Menunjukkan betapa kesal dan marahnya mereka kepada majalah Tempo.
Masih ingat saat rame-rame jelang Pilpres 2019 lalu?
Bupati Boyolali Seno Samudro memaki Capres Prabowo ASX.
Gara-garanya, hanya karena Prabowo mengucapkan guyonan “Tampang Boyolali.”
Sebuah makian yang sangat tidak pantas terhadap seorang capres. Apalagi sekarang malah jadi Menhan.
Mosok seorang Menhan, pembantu Jokowi dimaki ASX.
Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Wuryanto mencoba menetralisir.
Menurut Bambang, makian —pisuhan dalam bahasa Jawa— itu merupakan kultur anak-anak wilayah Surakarta. Itu menunjukkan sikap yang egaliter.
Anak milenial di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jawa Timuran, apalagi luar Jawa, tidak akan menggunakan kosa kata itu.
Di Bandung ada padanannya dengan obyek yang sama. Yakni Anjixx.
Wajar bila mereka sangat marah dan kesal. Tempo Group dalam beberapa pekan terakhir tidak hanya menelanjangi Juliari dan PDIP, tapi juga menyerang “Anak Pak Lurah.”
Sebelumnya, Tempo juga memaparkan data dan fakta yang berbeda seputar tewasnya 6 orang laskar FPI di KM 50.
Siapa yang bermain?
Siapa yang bermain di belakang #TangkapAnakPakLurah dan siapa di belakang #TempoMediaAsu, petanya akan jelas setelah nanti big data-nya dibaca.
Satu hal yang jelas, menjadi media yang merdeka dan independen di negeri ini makin berat.
Kalau cuma sekadar di-bully dan dimaki dengan #MediaASU siy kadarnya biasa.
Situs tempo.co beberapa waktu lalu sempat diretas. Tampilan wajah situsnya diubah (deface).
Beberapa channel YouTube yang dianggap kritis dan berada dalam kubu oposisi, diblokir dan tidak bisa ditonton di Indonesia.
Channel Front TV milik FPI menghilang dari beranda YouTube. Hanya bisa disaksikan menggunakan VPN atau dari luar negeri.
Channel milik saya Hersubeno Point juga diblokir. Untungnya mereka yang sudah subscribe, masih tetap bisa menyaksikan dan mendapat notifikasi. Tak perlu menggunakan VPN.
Tanda-tanda kematian demokrasi di Indonesia ada di ambang mata.
Orang sudah semakin takut menyatakan pendapat. Urusannya panjang dan bisa berakhir di bui.
Kebebasan menyuarakan pendapat sesungguhnya dijamin konstitusi.
Media yang independen, bukan mengabdi pada kekuasaan, merupakan indikator sehatnya demokrasi sebuah negara.
Media juga disebut sebagai pilar keempat demokrasi.
Pendiri Harian Kompas PK Ojong pernah mewanti-wanti.
Tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tetapi mengkritik orang yang sedang berkuasa! ***
Artikel ini dikutip dari RMOL.ID