Jakarta (Riaunews.com) – Nara tak mau lagi membicarakan kasus pemerkosaan yang dialaminya. Dia trauma berat dengan kejadian tiga tahun lalu: diduga diperkosa empat orang rekan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM).
“Syok banget dia. Makanya saya enggak bisa nanyain lebih, seolah-olah kayak diingetin (kasusnya). Seolah-olah buat apa saya hidup,” kata ibu korban saat ditemui CNNIndonesia.com di rumahnya, Jakarta Selatan.
Nara bukan nama sebenarnya. Perempuan 27 tahun itu adalah pegawai honorer Kemenkop UKM saat kasus ini terjadi. Penderitaannya berlipat ganda: dia diduga diperkosa massal, dikucilkan institusi dan diabaikan pelaku yang menikahinya dengan perjanjian tutup kasus.
Para pelaku bekerja satu divisi dengan korban di bagian kepegawaian. Mereka sempat ditahan, namun kemudian dibebaskan polisi dengan dalih “keadilan restorasi”.
Kini, perkara tersebut diusut kembali setelah sempat dianggap selesai oleh polisi.
Semua bermula pada 5 Desember 2019. Saat itu Kemenkop UKM tengah melaksanakan kegiatan rapat di luar kantor (RDK) di Hotel Permata, Kota Bogor. Agendanya, verifikasi berkas calon pegawai negeri sipil (CPNS) sekaligus pisah sambut pejabat Kepala Biro Umum.
Di luar kegiatan, pada Kamis malam itu, tujuh orang pegawai Kemenkop UKM mengajak Nara keluar hotel untuk makan, tanpa seizin atasan.
Mereka adalah WH (PNS) 37 tahun, ZPA (CPNS) 27 tahun, MF (honorer) 30 tahun, NN (cleaning service) 44 tahun, MM (honorer) 36 tahun, AS (honorer) 28 tahun, EW (CPNS) 36 tahun.
Tanpa prasangka, Nara pergi dengan ketujuh pria tersebut. Teman perempuan yang menginap sekamar dengannya tak ikut karena sakit.
Usai makan, mereka ke tempat hiburan malam di klub Zentrum Kranggan, Cibubur. Nara dicekoki minuman keras hingga mabuk.
Di klub malam itu, dia mengalami pelecehan seksual oleh teman-temannya. Begitu pun selama perjalanan pulang ke hotel, dia juga dilecehkan di dalam mobil.
Setibanya di penginapan, Nara tidak diantar ke kamarnya. Dia justru dibawa ke kamar 234 yang seharusnya ditempati pimpinan, namun kosong ditinggal pulang. WH memegang kunci kamar itu dan menyalahgunakannya.
ZPA memapah Nara yang sudah tak kuat berjalan di bawah pengaruh alkohol. CCTV hotel merekam momen ini.
Kebengisan pun terjadi. Di kamar itu, Nara diperkosa bergiliran oleh MF, WH, ZPA, dan NN, saat kondisinya tidak berdaya. Satu di antaranya memerkosa Nara dua kali.
MM ikut masuk ke kamar, mendengar dan membiarkan tindakan pemerkosaan. Sementara AS dan EW ikut mengantar korban, lalu kembali ke kamar.
Nara yang dibuat mabuk oleh para pelaku sudah tak berdaya untuk melawan. Ia hanya mengenali suara pelaku pemerkosaan.
“Saya ngebayangin pas lagi kejadian itu, bagaimana dia bertahan sendiri, bagaimana dia mau berontak, sudah enggak berdaya, enggak bisa apa-apa, Kuping doang dengar, tapi enggak bisa (melawan). Saya yang enggak ngalamin aja nangis, bagaimana dia,” ujar ibu korban berkaca-kaca.
Setelah pemerkosaan itu, sekitar pukul empat subuh, korban kembali ke kamarnya. Dia sempat meminta dijemput oleh teman sekamar.
Jumat pagi, kegiatan rapat masih berlanjut di hotel. Nara datang terlambat. Pusing dan kalut menggelayut di kepala. Dia memendam kejadian biadab malam itu.
Korban tak berani bercerita kepada siapapun, hingga beberapa hari berikutnya.
Lapor polisi
Perlahan Nara mulai berani membicarakan kasusnya. Dia curhat kepada sahabat yang juga bekerja di Kemenkop UKM. Mereka sama-sama bukan ASN.
Kejadian itu akhirnya sampai ke telinga keluarga. Kakak korban, Roy (bukan nama sebenarnya), diberi tahu bahwa adiknya telah diperkosa. Ia pun syok dan murka. Perlahan Roy menyampaikan kejadian ini kepada orang tua dan menyarankan agar korban segera melapor polisi.
“Tindakan pertama yang kami lakukan adalah mendatangi lokasi hotel tersebut agar CCTV tidak kedaluarsa atau tidak hilang, kami minta diamankan,” kata kakak korban saat ditemui di rumahnya.
Roy juga bekerja di Kemenkop UKM sebagai tenaga honorer pada Deputi SDM. Ayahnya, Wahyu (nama samaran) pun bekerja di kementerian yang sama sebagai Kabid Kaderisasi Deputi Bidang Kelembagaan.
Mereka mengadukan persoalan ini ke Kepala Biro Umum (Karo Umum) pada 20 Desember 2019.
Karo Umum kemudian menugaskan atasan langsung korban, Barasta Woro Kurniati, untuk mendampingi korban membuat laporan di Polresta Bogor Kota pada tanggal yang sama. Laporan polisi terbit dengan nomor LP/577/XII/2019/JBR/POLRESTA BOGOR KOTA.
Nara sempat menjalani pemeriksaan medis visum et repertum. Dokter menyatakan ada robekan yang cukup banyak di bagian kemaluan akibat benda tumpul. Hasil visum tersebut disampaikan kepada keluarga korban.
Setelah proses itu, pihak Kemenkop UKM tidak memberikan pendampingan psikis maupun hukum kepada korban. Kesimpulan ini berdasarkan surat rekomendasi Tim Independen Pencari Fakta yang dibentuk Kemenkop UKM pada 26 Oktober 2022.
“Bahwa Kepala Biro Manajemen Kinerja, Organisasi dan SDM Aparatur Kemenkop UKM telah dengan sengaja mengabaikan hak korban untuk mendapatkan pendampingan hukum selama pemeriksaan,” demikian tertulis dalam poin Temuan-temuan Tim Independen.
Nara mencari keadilan tanpa didampingi kuasa hukum. Dia hanya ditemani keluarga saat berurusan dengan polisi. Tak hanya tenaga, pikiran dan perasaan yang tercurahkan, tapi juga keuangan keluarga terkuras untuk ‘membayar’ polisi, demi pengusutan perkara.
Namun pihak Polresta Bogor Kota menolak berkomentar terkait hal ini.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Bogor Kota enggan memberikan komentar. Sementara Kasat Reskrim Polresta Bogor Kota tidak menjawab panggilan telepon maupun pesan WhatsApp yang dikirim CNNIndonesia.com.
Di sisi lain, Kemenkop UKM melakukan penggantian Plt. Kepala Bagian Kepegawaian pada 23 Desember 2019. Keputusan ini sebagai respons kedinasan atas kejadian tersebut.
Karo Umum juga memerintahkan kepada Bagian Kepegawaian untuk memeriksa ketujuh pegawai yang diduga terlibat.
Pengakuan Pelaku
Satu bulan usai pelaporan, polisi kemudian menetapkan keempat pegawai Kemenkop UKM sebagai tersangka. Mereka yaitu WH, ZPA, MF dan NN dijerat pelanggaran pasal 286 KUHP yakni perkosaan terhadap perempuan yang diketahui pingsan atau tidak berdaya.
Sementara tiga orang lainnya yaitu MM, AS, dan EW tak dijadikan tersangka meskipun terlibat beberapa perbuatan.
Temuan Tim Independen menyebut ketiganya ikut membuat korban tak berdaya dengan mengajak mengonsumsi miras, serta melakukan dugaan pelecehan seksual di klub malam. Mereka juga ikut mengantar korban ke kamar tempat pemerkosaan.
Para tersangka kemudian ditahan pada 14 Februari 2020. Namun setelah sebulan berlalu, tepatnya 18 Maret 2020, kepolisian menghentikan penyidikan (SP3) dengan alasan keadilan restoratif.
“Sebelum ditahan, pelaku sempat ke rumah, mendatangi ibu dan bapak korban, mengakui perbuatannya serta meminta maaf agar jangan diproses hukum,” kata kakak korban.
Sebelum kasus dihentikan, muncul surat perjanjian bersama antara pelaku dengan korban yang difasilitasi oleh kepolisian pada 3 Maret 2020. Kemudian disusul dengan pernikahan antara korban dengan salah satu tersangka, ZPA, pada 13 Maret 2020.
Dalam salinan Surat Perjanjian Bersama yang diperoleh CNNIndonesia.com, salah satu poinnya memuat kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahan secara musyawarah/kekeluargaan.
“Pihak ke-1 (korban) bersedia mencabut laporan yang telah dilaporkan di Polresta Bogor Kota…,” demikian isi penggalan surat tersebut.
Menurut kakak korban, surat perjanjian itu dibuat oleh polisi. Belakangan, pihak keluarga korban mempersoalkan surat perjanjian tersebut. Roy menyebut perjanjian itu sebagai permufakatan jahat agar pelaku lolos dari hukuman.
MF, AS, MM diberhentikan sebagai tenaga honorer. NN juga dipecat sebagai cleaning service oleh perusahaan outsourcing yang mempekerjakannya.
Nasib berbeda justru dialami pegawai CPNS dan PNS. ZPA dan EW, yang berstatus CPNS justru diangkat menjadi PNS pada 20 Februari 2020.
Bahkan Karo Kepegawaian memberikan rekomendasi kepada Bappenas agar ZPA mendapat beasiswa S2 di Universitas Brawijaya Malang pada 1 Februari 2021.
Sementara WH naik pangkat pada 31 Februari 2021.
Sekretaris Kemenkop UKM justru memberhentikan atau tidak memperpanjang kontrak kerja korban pada Juli 2020. Bahkan selama Februari hingga Juli, Kemenkop UKM tidak membayarkan gaji korban. Gaji tersebut baru dibayarkan dua tahun kemudian.
Penderitaannya tak henti di situ. Nara kerap mendapatkan perundungan dari teman sekantor. Ia pun tak nyaman karena beberapa kali melihat pelaku di kantor. Korban dan pelaku bekerja pada satu ruangan yang sama.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengaku baru mengetahui kasus ini setelah polisi menghentikan kasusnya.
“Saya jadi tahu kasus ini itu kira-kira 30 Maret 2020. Jadi dari tanggal 6 Desember 2019 saya tidak mendapat laporan dan dinyatakan sudah selesai semuanya,” kata Teten saat konferensi pers di kantornya, Senin (28/11) lalu.
Pada kesempatan itu, Teten juga mengumumkan pemecatan terhadap ZPA dan WH sebagai PNS. Sementara EW diberi sanksi turun jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun. Pihaknya juga membatalkan rekomendasi beasiswa ZPA.
“Kami justru dalam rangka untuk menegakkan keadilan yang dirasa sanksi yang sudah diberikan, bahkan ada promosi dan beasiswa, itu merupakan suatu ketidakadilan,” ujar Teten.
Kini, korban dan keluarganya kembali menuntut agar kasus tersebut diusut tuntas. ZPA dianggap mengingkari perjanjian terkait kewajibannya sebagai suami. Dia juga dianggap melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Pihak keluarga menyadari perjanjian bersama hanya digunakan untuk membebaskan tersangka dari jeratan hukum. Sementara korban tetap menderita dan dirugikan.
“Dari pendampingan pada semua kasus korban pelecehan perkosaan, traumanya seumur hidup meskipun kasusnya sudah diungkap, meskipun pelaku ditangkap, dipenjara, bagi korban itu adalah trauma seumur hidup,” kata Ririn Sefsani, anggota Tim Independen Pencari Fakta.***