Selasa, 26 November 2024

Tahukah Anda, Kata Belasting Tinggalkan Makna Negatif Bagi Warga Sumbar

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Pahlawan Nasional asal Agam, Sumatera Barat, Siti Manggopoh, yang berjuang melawan Kolonial Belanda karena kebijakan Belasting.

Pekanbaru (Riaunews.com) – Kata “Belasting” saat ini banyak diperbincangkan warganet. Hal ini tak lepas dibubarkannya klub motor gede (moge) para pegawai pajak yang bernama Belasting Ridjer.

Kata “Belasting Rijder” diambil dari bahasa Belanda yang artinya adalah sopir pajak. Nama itu diduga dipilih pegawai DJP karena dianggap sesuai dengan hobi mereka mengendarai motor.

Kendati demikian, kata Belasting memang mengandung makna negatif bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Sumatera Barat.

Ini juga bisa dilihat dari buku berjudul “Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah” yang ditulis oleh Mulyono Atmosiswartoputra.

Dikutip dari Suara.com, dalam buku itu, tertulis sejarah “Perang Belasting” yang dipicu karena kebijakan pajak, atau disebut Belasting, yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Penerapan pajak di masa itu sangat masif dan terdiri dari berbagai jenis.

Di antaranya pajak kepala atau disebut hoofd, pajak pemasukan barang atau inkomsten, pajak rodi atau hedendisten dan pajak tanah atau disebut juga landrente.

Ada juga pajak keuntungan atau disebut wins, pajak rumah tangga atau meubels, pajak penyembelihan atau slach, pajak tembakau atau tabak dan pajak rumah adat atau huizen.

Beragam jenis pajak itu membuat masyarakat Sumatera Barat keberatan sampai akhirnya meledak setelah pemerintah Hindia Belanda memakai cara agresif, yakni dengan militer untuk menarik pajak.

Situasi diperparah dengan aksi tentara-tentara yang kerap membungkam aksi protes kebijakan pajak yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda. Tentara itu juga memiliki kebiasaan yang membuat warga hilang kesabaran, seperti mabuk-mabukan, bermain judi dan melakukan pemerkosaan terhadap perempuan.

Seluruh tekanan itu akhirnya membuat perang pecah. Perlawanan yang dipimpin oleh Siti Manggopoh dan suaminya Rasyid Bagindo pada 16 Juni 1908 berhasil menewaskan 53 dari 55 tentara Hindia Belanda. Kala itu, mereka hanya bermodalkan parang untuk melawan penjajah.

Perlawanan dari rakyat Sumatera itu membuat pemerintah Hindia Belanda murka dan melakukan serangan balasan. Mereka menghancurkan wilayah Manggopoh, Sumatera Barat, di mana sekarang dikenal sebagai Kabupaten Agam. Tak cuma membakar habis, warga setempat juga disiksa agar mengungkap keberadaan Siti Manggopoh.

Penyiksaan yang tak kunjung henti membuat Siti Manggopoh memutuskan menyerahkan diri. Ia juga meminta agar pemerintah Hindia Belanda tidak lagi menyiksa warganya. Pada akhirnya, Siti Manggopoh akhirnya dipenjara, sedangkan suaminya Rasyid Bagindo dibuang ke Manado.

Peristiwa kelam itu tentu membuat nama ‘Belasting’ dinilai tidak patut untuk dijadikan nama klub moge.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *