Jakarta (Riaunews.com) – Kepala Bareskrim Polri Komjen Agus Andrianto menanggapi mantan Wamenkumham Denny Indrayana yang menyinggung soal pembungkaman karena dilaporkan ke Bareskrim Polri buntut rumor Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan sistem pemilu coblos gambar partai atau proporsional tertutup. Komjen Agus menegaskan tidak ada pembungkaman kebebasan berbicara di Indonesia.
“Saya rasa di Indonesia ini kebebasan berbicara tidak pernah ada yang dibungkam ya,” kata Komjen Agus Andrianto saat dihubungi, Minggu (4/6/2023).
Mantan Kabaharkam Polri ini menyebut kebebasan berbicara di Indonesia bahkan melebihi negara demokrasi lainnya.
“Bahkan melampaui mbahnya negara demokrasi di dunia,” imbuhnya.
Karena itu, dia pun memastikan penanganan laporan juga akan diproses secara objektif. Dia mengungkit sikap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang meminta agar laporan tersebut didalami secara objektif.
“Pak Kapolri sudah sampaikan akan melakukan pendalaman secara objektif,” ucap Agus.
Pernyataan Denny Indrayana
Denny Indrayana sebelumnya buka suara usai dilaporkan ke Bareskrim Polri terkait dugaan penyebaran hoax soal rumor Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan sistem pemilu coblos gambar partai atau proporsional tertutup. Denny tak sepakat apa yang dilakukannya serta-merta dibawa ke jalur hukum, alih-alih dibalas dengan narasi.
“Kali ini saya hanya akan memberikan penjelasan terkait laporan yang dilayangkan kepada aparat kepolisian. Terlepas adanya hak setiap orang untuk melaporkan ke polisi, saya berpendapat hak demikian mesti digunakan secara tepat dan bijak. Baiknya, tidak semua hal dengan mudah dibawa ke ranah pidana. Seharusnya, persoalan wacana dibantah dengan narasi pula, bukan memasukkan tangan paksa negara, apalagi proses hukum pidana. Terlebih, pembicaraan terkait topik politik di waktu menjelang kontestasi Pemilu 2024 sangat rentan dengan kriminalisasi kepada lawan politik,” kata Denny dalam keterangan tertulis, Ahad (4/6/2023).
Denny mengaku menyampaikan ke publik soal ‘bocoran’ putusan MK ini sebagai upayanya untuk mengontrol putusan MK. Dia lalu menyinggung putusan MK mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK yang dinilainya problematik tetapi harus dilaksanakan karena putusannya bersifat final.
“Karena putusan MK itu bersifat final and binding, tidak ada upaya hukum apapun dan langsung mengikat begitu dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum. Putusan yang telah dibacakan harus dihormati dan dilaksanakan. Tidak ada pilihan lain. Tidak ada lagi ruang koreksi. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK, makin melumpuhkan kredibilitas KPK, karena memperpanjang pimpinan yang problematik secara etika. Putusan itu juga menguatkan ada agenda strategi Pilpres 2024 yang dititipkan kepada perpanjangan masa jabatan Firli Bahuri cs,” katanya.
Denny berpandangan putusan MK mengenai sistem pemilu merupakan ihwal yang strategis karena mempengaruhi kadar suara rakyat pemilih dalam gelaran pemilu. Dengan demikian, Denny mengaku merasa perlu mengawal hal itu sebelum putusan MK telanjur diputuskan dan dibacakan.
“Saya berpendapat putusan terkait sistem pemilu legislatif sangat penting dan strategis, sehingga menjadi perhatian banyak kalangan dari Sabang sampai Merauke. Bukan hanya dari partai dan bacaleg, tapi juga yang paling penting, mempengaruhi kadar suara rakyat pemilih yang tidak lagi punya bobot menentukan jika MK memutuskan sistem proporsional dengan nomor urut atau tertutup menggantikan sistem nama dan suara terbanyak atau terbuka,” kata Denny.
“Karena sangat krusialnya putusan MK tersebut, dan tidak mungkin lagi ada koreksi setelah putusan dibacakan, maka pengawalan publik hanya mungkin dilakukan sebelum putusan dibacakan. Dengan mengungkap informasi kredibel bahwa MK berpotensi memutus sistem proporsional tertutup, saya mengundang khalayak luas untuk mencermati dan mengkritisi putusan yang akan dikeluarkan tersebut. Jangan sampai putusan terlanjur ke luar dan membuat demokrasi kita kembali mundur ke sistem pemilu proporsional tertutup ala Orde Baru yang otoritarian dan koruptif,” imbuhnya.
Di sisi lain, Denny menilai sistem peradilan di RI belum ideal lantaran masih rawan intervensi kuasa dan mafia peradilan. Dia mengatakan pengawalannya terhadap perkara sistem pemilu ini menjadi strateginya dalam memperjuangkan keadilan.
“Saya berpendapat untuk sistem peradilan kita yang masih belum ideal, terutama karena masih rentannya intervensi kuasa dan masih maraknya praktik mafia peradilan, menyerahkan putusan pengadilan hanya pada proses di ruang sidang saja, tidaklah cukup. Untuk memperjuangkan keadilan, harus ada kontrol melalui kampanye publik (public campaign) dan kampanye media (media campaign). Itulah strategi yang selalu kami jalankan di INTEGRITY Law Firm, karena argumentasi dan logika hukum semata, sayangnya tidak jarang dikalahkan oleh kekuatan logistik kekuasaan dan praktik mafia peradilan,” ungkap Denny.
Meski begitu, Denny mengatakan akan menghadapi proses hukum tersebut. Namun dia akan melawan dengan hak hukumnya apabila proses hukum terhadapnya menjadi kriminalisasi.
“Akhirnya, saya akan menghadapi proses hukum yang sedang berjalan, dengan catatan proses itu tidak disalahgunakan untuk pembungkaman atas hak asasi kebebasan berbicara dan berpendapat, sebagaimana saat ini nyata-nyata dialami rekan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Jika prosesnya bergeser menjadi kriminalisasi kepada sikap kritis, maka saya akan menggunakan hak hukum saya untuk melakukan pembelaan melawan kezaliman dan melawan hukum yang disalahgunakan,” pungkasnya.***
Sumber: Detik