Jakarta (Riaunews.com) – Sejumlah petinggi perusahaan dimintai keterangannya oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), guna melengkapi berkas dugaan korupsi pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam APBNP 2017 dan APBN 2018 dengan tersangka mantan Walikota Dumai, Zulkifli AS.
“Pemeriksaan saksi ZAS (Zulkifli Adnan Singkah, red), tindak pidana korupsi pengurusan Dana Alokasi Khusus Kota Dumai dalam APBNP Tahun 2017 dan APBN 2018,” ujar Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, Jumat (19/2/2021).
Ali menyebutkan, saksi itu adalah Yudha Maulana selaku Komisaris PT Tegma Engineering, Sudirman selaku Direktur PT Hogindo Zhen Putra, Syafriadi selaku Direktur PT Energi Sejahtera Mas, dan Tenang Parulian Sembiring selaku General Manager PT Wilmar Pelintung Dumai.
Saksi dari swasta lain yakni, Tri Junaidi, Veenaben Bhageandas, Dudi Maulana, Syamsul Bahar Hayat, Mohammad Ilham, Epah Cholipah, Usman, Muskanizar, Syafran dari karyawan BUMN PT Tegma Engineering dan Rajendra Kumar.
Ali mengatakan, para saksi diperiksa di Kantor KPK, Jalan Kuningan Persada, Kav A Setiabudi, Jakarta Selatan. “Diperiksa di Kantor KPK,” ujar Ali.
Ali menyebutkan, penyidik KPK menggesa penyelesaian berkas perkara Zulkifli AS.
Dilansir Cakaplah.com, sejak mantan Wali Kota Dumai tersebut ditahan, KPK telah berulang kali memanggil saksi-saksi dari pihak Pemko Dumai, anggota DPRD dan swasta. termasuk Walikota Dumai terpilih, Paisal.
Untuk diketahui, Zulkifli AS kini telah mendekam di Rutan Polres Metro Jakarta Timur. Ia ditahan oleh KPK sejak Selasa 17 November 2020 tahun lalu dan penahanannya telah diperpanjang.
Perkara yang menjerat Zulkifli AS ini merupakan pengembangan dari perkara dugaan suap terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah dalam RAPBN Perubahan Tahun Anggaran 2018.
Diketahui, Zulkilfli AS dijerat dua perkara. Pertama, diduga memberi uang suap Rp550 juta kepada Yaya Purnomo dan kawan-kawan terkait dengan pengurusan anggaran DAK APBN-P Tahun 2017 dan APBN Tahun 2018 Kota Dumai.
Yaya Purnomo merupakan mantan Kepala Seksi (Kasi) Pengembangan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Dirjen Pengembangan Pemukiman Kementerian Keuangan.
Untuk perkara kedua, Zulkifli AS diduga menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta dari pihak pengusaha yang mengerjakan proyek di Kota Dumai. Penerimaan gratifikasi diduga terjadi dalam rentang waktu November 2017 dan Januari 2018.
Disebutkan pada Maret 2017, Zulkifli AS bertemu dengan Yaya Purnomo di sebuah hotel di Jakarta. Dalam pertemuan itu, ia meminta bantuan untuk mengawal proses pengusulan DAK Pemko Dumai dan pada pertemuan lain disanggupi oleh Yaya Purnomo dengan fee 2%; Kemudian pada Mei 2017, Pemko Dumai mengajukan pengurusan DAK kurang bayar Tahun Anggaran 2016 sebesar Rp22 miliar.
Dalam APBN Perubahan Tahun 2017, Kota Dumai mendapat tambahan anggaran sebesar Rp22,3 miliar. Tambahan ini disebut sebagai penyelesaian DAK Fisik 2016 yang dianggarkan untuk kegiatan bidang pendidikan dan infrastruktur jalan.
Di bulan yang sama, Pemko Dumai mengajukan usulan DAK untuk Tahun Anggaran 2018 kepada Kementerian Keuangan. Beberapa bidang yang diajukan antara lain RS rujukan, jalan, perumahan dan permukiman, air minum, sanitasi, dan pendidikan.
Zulkifli AS kembali bertemu Yaya Purnomo membahas pengajuan DAK Kota Dumai yang kemudian disanggupi untuk mengurus pengajuan DAK TA 2018 Kota Dumai, yaitu: untuk pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah dengan alokasi Rp20 miliar, dan pembangunan jalan sebesar Rp19 miliar.
Untuk memenuhi fee terkait dengan bantuan pengamanan usulan DAK Kota Dumai kepada Yaya Purnomo, Zulkifli AS memerintahkan untuk mengumpulkan uang dari pihak swasta yang menjadi rekanan proyek di Pemerintah Kota Dumai.
Penyerahan uang setara dengan Rp550 juta dalam bentuk Dollar Amerika, Dollar Singapura dan Rupiah pada Yaya Purnomo dan kawan-kawan dilakukan pada bulan November 2017 dan Januari 2018.
Atas perkara pertama, Zulkifli AS dijerat Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkara kedua dijerat Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001.***