Oleh Alfiah, S.Si
Terhitung sudah 1 bulan lebih perang Israel dengan para pejuang Hamas akhirnya disepakati genjatan senjata. Meski pada awalnya pihak Israel ngotot untuk tidak mau gencatan senjata. Menurut PM Israel Benyamin Netanyahu, genjatan senjata berarti mengkonfirmasi bahwa Israel kalah. Namun akibat tekanan internasional terhadap Israel, banyaknya korban sipil di Gaza dan kerugian dari tentara Israel akhirnya disepakati genjatan senjata.
Korban sipil yang gugur di Gaza sudah tembus 15 ribu jiwa dan korban terbanyak berasal dari kalangan anak-anak dan perempuan. Hal ini karena serangan membabi buta Israel terhadap fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah bahkan kamp- kamp pengungsian.
Penderitaan rakyat Palestina terutama Gaza sungguh membuat seluruh mata dunia tertuju padanya. Belum lagi korban yang terluka, dan jutaan pengungsi. Kondisi demikian diperparah dengan rusaknya fasilitas umum seperti Rumah Sakit, sekolah, universitas, perumahan dan jalan-jalan.
Gaza bisa saja hancur lebur dibombardir Israel tapi keimanan dan mental rakyat Gaza tidak pernah hancur bahkan semakin kuat. Keyakinan mereka terhadap pertolongan Allah dan semangat mereka untuk terus berjuang tidak pernah padam. Kondisi ini berbanding terbalik dengan mental pasukan IDF dan kondisi dalam negeri Israel.
Diberitakan bahwa banyak pasukan IDF yang stress, tidak mau berperang dan mundur dari medan pertempuran. Perpecahan internal di tubuh militer Israel pun terkuak. Belum lagi rakyat Israel yang sudah tidak percaya lagi dengan kepemimpinan Benyamin Netanyahu. Rakyat Israel justru menyatakan bahwa Benyamin Netanyahu adalah sumber kekacauan.
Ironisnya para pemimpin negara-negara Arab dan negeri muslim justru memilih hanya sebagai singa podium. Benar bahwa mereka mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza namun tengan mereka yang lain bersalaman erat dengan Israel. Mereka sama sekali tidak memutuskan perdagangan dengan Israel. Padahal jika pemimpin-pemimpin Arab sepakat mengembargo secara ekonomi saja, Israel akan semakin tertekan.
Lemahnya para pemimpin negara-negara Arab tidak lain karena sudah tunduknya mereka terhadap Amerika Serikat yang merupakan sekutu dekat Israel. Mereka telah memberikan karpet merah terhadap Amerika Serikat dengan adanya pangkalan militer AS agar mudah membantu Israel. Padahal rakyat Gaza tidak butuh hanya sebatas seruan dan kemarahan para pemimpin dunia terhadap apa yang terjadi di Gaza.
Jangan tanya apa yang sudah dilakukan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk membela rakyat Palestina. Ia hanya bisa memohon kepada Israel dan Amerika Serikat agar dihentikan perang. Tak ada tentara pembebasan yang ia kirimkan untuk melindungi Gaza dari serangan Israel.
Yang semakin menyayat hati ada saja pernyataan-pernyataan dari yang katanya ulama, publik figur, buzzer, netizen dan sebagian rakyat negeri ini yang justru menyalahkam Hamas dan perjuangannya. Bahkan ada yang terang-terangan pro terhadap Israel. Mereka seolah lupa, tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu tentang sejarah Palestina, sejak kapan negara Israel ada dan apa jasa Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia. Harusnya kita merasakan bahwa duka Gaza adalah duka kita juga.
Perlu diketahui bahwa Palestina lebih dulu ada ketimbang negara Israel. Negara Israel ada baru pada tanggal 14 Mei 1948 yang dibidani oleh Inggris dan Perancis dan diumumkan secara resmi oleh PBB pada 15 Mei 1948. Semenjak berdirinya negara Israel di tanah Palestina, semenjak itulah penjajahan Israel terhadap Palestina dimulai. Pencaplokan demi pencaplokan wilayah terus dilakukan Israel. Pengungsian besar-besaran terus terjadi hingga hari ini. Gaza yang diblokade Israel selama 16 tahun kini kian luluh lantak.
Padahal harapan dan permintaan rakyat dan pejuang yang ada di Gaza adalah bantuan pasukan pembebasan dari Indonesia. Namun tampaknya para pemimpin negeri ini seolah tak mendengar, rezim negeri ini seolah lupa terhadap jasa Palestina untuk kemerdekaan Indonesia.
Mengutip dari buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karya M. Zein Hassan, negara Palestina mengakui kedaulatan Indonesia pada 1944, sebelum Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, mufti besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dan seorang saudagar kaya Palestina, Muhammad Ali Taher menyiarkan dukungan rakyat Palestina untuk kemerdekaan Indonesia melalui siaran radio dan media berbahasa Arab pada 6 September 1944.
Bahkan berita tentang kemerdekaan Indonesia disiarkan selama dua hari berturut-turut oleh berbagai media Palestina. Bahkan harian ‘Al Ahram’ yang terkenal telitinya juga menyiarkan. Dukungan kedua tokoh ini tak berhenti sampai di situ. Mereka aktif melobi negara-negara di kawasan Timur Tengah yang berdaulat di Liga Arab untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Sejak negara Palestina mengakui kedaulatan Indonesia pada 1944, dukungan terus mengalir. Bahkan salah seorang saudagar kaya raya Palestina, Ali Taher rela mengeluarkan kekayaannya untuk kemerdekaan.
Kini, Indonesia telah lama merdeka, hanya saja, negara yang awal mendukung kemerdekaan, saat ini masih berada di bawah kendali penjajah. Para pemimpin negeri muslim hanya bisa marah dan tak mampu mengirim barang segelintir tentara. Padahal membebaskan rakyat Palestina adalah dengan mengusir Israel dari bumi Al Aqsa. Haram hukumnya kaum berdamai dan bersahabat dengan entitas yang memerangi kaum muslim.
Karena itu apapun bentuk perdamaiannya, apalagi solusi dua negara yang ditawarkan Barat, adalah haram. Allahu SWT berfirman:
“Sungguh Allah telah melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah kaum yang zalim”. (TQS Al Mumtahanah : 9)
Islam juga telah mewajibkan jihad fi Sabilillah atas kaum muslim ketika mereka diperangi musuh. Allah SWT berfirman:
“Siapa saja yang menyerang kalian, seranglah dia seimbang dengan serangannya terhadap kalian”. (TQS Al Baqarah: 194).