Jakarta (Riaunews.com) – Hari ini, Rabu, 1 Juli 2021, merupakan hari Bhayangkara, alias hari jadi Kepolisian RI.
Sebagai aparat penegak hukum (APH), Polisi dinilai acapkali malah menjadi aktor di balik pelanggaran hukum.
Sederet kasus yang menjerat polisi pun muncul ke publik belakangan ini. Mulai dari pembunuhan, penganiayaan, penggunaan narkoba, hingga pemerkosaan.
Terbaru ialah pemerkosaan seorang remaja perempuan berusia 16 tahun di Mapolsek Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Maluku Utara. Aksi tersebut dilakukan oleh seorang aparat Briptu Nikmal Idwan.
Modusnya, dia membawa korban ke kantor polisi kala korban tengah kesulitan mencari angkutan umum untuk melanjutkan perjalanan karena hari sudah terlampau malam.
Setibanya di kantor polisi, dia dibawa ke ruang interogasi dan malah diperkosa. Nikmal lantas menggunakan kewenangannya sebagai aparat yang dapat menindak hukum untuk membungkam korban agar tak bercerita pengalaman pahitnya itu. Kasusnya kini masih diselidiki.
Kasus lain, seorang anggota polisi di Polres Sorong Kota, Papua Barat, berinisial IP tega membakar istrinya karena tersulut pertengkaran di dalam rumah tangga. Kejadian pada akhir Mei lalu sempat terkendala lantaran pelaku berkilah insiden terjadi karena kompor meledak.
Namun penyidik yang bertugas akhirnya menemukan bukti-bukti yang mengarah pada aksi pembakaran secara sengaja terhadap istrinya.
Kemudian pada Februari lalu, Bripka CS, seorang polisi juga berulah dengan menembak mati tiga orang di sebuah kafe di Cengkareng, Jakarta saat dalam kondisi mabuk. Salah seorang korban merupakan prajurit TNI AD.
Kasus ini mencuat dan mendapat atensi dari pejabat korps seragam coklat. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat telegram rahasia (STR) untuk memperketat proses peminjaman dan pemakaian senpi dinas.
Selain itu, anggota polisi juga dilarang mabuk-mabukan dan berpesta di tempat hiburan malam.
Bukan hanya kekerasan, polisi juga melakukan tindak pidana yang diduga terorganisasi yakni narkoba. Mantan Kapolsek Astanaanyar, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi digerebek bersama 11 anak buahnya karena menggunakan narkoba jenis sabu.
Peristiwa yang terjadi pada 16 Februari lalu mengakibatkan perwira menengah tersebut harus dicopot dari jabatannya dan diproses pidana.
Tak lupa juga kasus penembakan hingga tewas (unlawful killing) 6 Laskar Front Pembela Islam (FPI), oleh sejumlah personel Polri ketika menguntit Habib Rizieq Shihab.
Sayangnya, Polri terkesan tertutup atas kasus ini. Meski sudah menetapkan tiga personelnya sebagai tersangka, namun hingga kini publik tidak mengetahui identitas pelaku.
Merujuk pada data Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, tercatat ada 1.024 kasus pelanggaran pidana yang dilakukan oleh aparat sepanjang 2020. Jumlah tersebut naik signifikan dari tahun sebelumnya, yakni sebanyak 627 kasus. Sementara, pada 2018 tercatat ada 1.036 kasus pidana menjerat polisi.
Pelanggaran terbanyak terlihat pada kasus-kasus pelanggaran kode etik kepolisian. Tercatat pada 2020 ada 2.081 kasus di mana jumlah tersebut meningkat sangat tajam hingga 103,8 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 1.021 perkara.
Kemudian pada kasus-kasus pelanggaran disiplin aparat, tren peningkatan selalu terjadi dalam tiga tahun terakhir. Dimulai pada 2018 dengan 2.417 perkara, kemudian meningkat menjadi 2.503 pelanggaran pada 2019 dan melonjak hingga 3.304 kasus pada 2020.
Meski peristiwa banyak terjadi, namun Polri mengklaim selama ini pihaknya selalu memberikan sanksi tegas kepada polisi yang terbukti bermasalah.
“Terkait dengan perilaku oknum yang mencoreng nama institusi Polri, pimpinan Polri sudah menindak tegas dengan cara memberikan sanksi kode etik sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH),” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono saat dihubungi CNNIndonesia.com belum lama ini.
Dia mengamini bahwa upaya tersebut dilakukan untuk meningkatkan profesionalitas anggota Polri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Rusdi menjamin bahwa pihaknya bakal menjalankan tugas-tugas kepolisian sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ego Sektoral Polri
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala menilai perbuatan melawan hukum yang dilakukan anggota kepolisian seringkali terbawa lingkup budaya institusi yang kental.
Dia menilai, dalam sejumlah kasus banyak mengindikasikan kuatnya rasa solidaritas dan bangga terhadap institusinya sehingga memengaruhi cara pandangnya ke dunia luar.
“Cara pandang keluar itu yang kemudian sering berbentuk mandang enteng, mandang rendah, mandang sinis, curiga, gitu ya kepada orang luar,” kata Adrianus saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Namun demikian, kata dia, ego sektoral tersebut memang ditumbuhkan dan sengaja dipelihara pada profesi-profesi yang berbahaya. Polisi termasuk salah satu di antaranya.
Tak heran, kata dia, lazim bagi anggota kepolisian merasa lebih memiliki kewenangan dibandingkan dengan orang lain. Hanya saja risiko-risiko terjadinya pelanggaran hukum perlu dimitigasi untuk menangani hal tersebut.
Padahal Adrianus menilai, aparat bukan pihak yang tak mengerti hukum dan tidak mengetahui konsekuensi dari perbuatan yang dilakukannya.
Hanya dalam beberapa kasus seringkali perbuatan melanggar itu terjadi lantaran rasa kecintaannya terhadap Korps Bhayangkara yang berlebih. Hal itu seringkali membuat langkah-langkah yang diambil menjadi ekstrem dan di luar hukum.
“Soal budaya polisi yang kuat, perasaan kolektifnya yang keluar. Sebab, secara pengawasan sudah ada, pengawasan internal. Propamnya sudah kencang, pengawasan dari luar, dari masyarakat, DPR, media semua sudah kencang,” ucapnya.
“Mereka (polisi) pasti punya 1.001 cara untuk menyembunyikannya,” tambah dia.
Adrianus menganggap permasalahan tersebut dapat terjadi dari proses rekrutmen dan pemberian pendidikan bagi anggota Polri yang bermasalah.
Misalnya, terdapat sejumlah penyimpangan sehingga membuat orang yang tak memiliki integritas dan kemampuan untuk bekerja sebagai aparat penegak hukum dapat terpilih.
“Karena lolos di seleksi, atau seleksinya ternyata ‘main mata’ gitu ya. Orang-orang dengan kepribadian yang brengsek ini kemudian masuk ke jajaran kepolisian dan kemudian berbuat yang enggak-enggak,” kata mantan Komisioner Ombudsman ini.
Adrianus mengingatkan agar pemerataan kurikulum berpikir secara kritis diberikan secara merata tak hanya kepada perwira polri.
Menurutnya, pengemban tugas kepolisian yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat berasal dari bintara. Anggota-anggota kepolisian dari unsur ini dinilai harus memiliki pemahaman secara akademis dan tidak bertindak secara emosional.
Terpisah, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Irjen (Purn) Benny Mamoto menganggap bahwa tempat anggota Polri tersebut ditugaskan akan banyak membentuk sikap dan perilaku anggota tersebut.
Menurutnya, polisi akan membentuk sikap ‘nakal’ apabila lingkungan di sekitarnya memudahkan dirinya untuk berlaku sedemikian rupa.
“Apabila polisi yang baru bertugas salah bergaul atau terpengaruh lingkungan yang negatif, seperti mabuk, konsumsi narkoba, dan sebagainya maka dampaknya akan serius,” kata dia kepada CNNIndonesia.com.
“Kalau masyarakat tidak mau menyuapnya, maka tidak akan terjadi penyuapan. Demikian juga kalau polisinya tidak mau disuap,” tambah dia.
Oleh sebab itu, pembentukan karakter dan pembinaan integritas serta moral anggota menjadi peran penting bagi Polri sebagai suatu institusi.
Pensiunan jenderal polisi itu beranggapan bahwa selama ini Korps Bhayangkara masih berbenah dalam melakukan reformasi dan budaya hukum di internal institusinya. Hanya saja, belum ada hasil yang signifikan didapat.
“Budaya hukum di internal Polri, memang sedang dan terus dilakukan reformasi namun hasilnya belum signifikan,” jelas dia.***
Sumber: CNN Indonesia
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.