KPAI Tuntut Negara Tanggung Nasib Anak yang Jadi Yatim-Piatu Dampak Tragedi Kanjuruhan

125 orang tewas dalam kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022). (Foto: AP via Detikcom)

Jakarta (Riaunews.com) – Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober kemarin mengakibatkan ratusan orang tewas. Pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pemerintah bertanggung jawab atas nasib anak-anak yang menjadi yatim piatu akibat orang tuanya meninggal karena tragedi Kanjuruhan.

“Mendorong negara cq Pemerintah Pusat dan Daerah terkait untuk bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban jiwa dan luka-luka dalam tragedi Kanjuruhan, Malang,” kata Kommisioner KPAI, Retno Listyarti, dalam siaran persnya, Senin (3/9/2022).

Baca Juga: Turut Berduka Atas Tragedi Kanjuruhan, Anies: Kita Evaluasi di Tempat Masing-masing

Bentuk tanggung jawab itu perlu berupa rehabilitasi psikis hingga santunan. Rehabilitasi psikis dibutuhkan terutama bagi anak-anak yang masih dirawat di rumah sakit

“Begitupun bagi anak-anak yang orang tuanya meninggal saat tragedi ini butuh dukungan negara, karena mereka mendadak menjadi yatim atau bahkan yatim piatu, tulang punggung keluarganya ikut menjadi korban tewas dalam peristiwa ini,” kata Retno.

Dia menyebut tragedi Kanjuruhan adalah tragedi kemanusiaan. Penggunaan gas air mata di stadion sepakbola dinyatakannya membahayakan semua orang dalam kerumunan, termasuk anak-anak.

Akibat dari gas air mata, kata Retno, adalah rasa terbakar pada kulit, rasa perih di mata dan timbul air mata, gangguan di salurah pernapasan berupa hidung berair, batuk, dan rasa tercekik, gangguan saluran pencernaan seperti rasa terbakar di tenggorokan hingga muntah, terlebih bila serbuk gas air mata masuk ke paru-paru maka napas bakal sesak.

“Itulah mengapa penggunaan gas air mata tersebut dilarang oleh FIFA. FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menegaskan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion,” kata Retno.

Dia juga menyoroti perihal penolakan rekomendasi agar pertandingan digelar sore hari, bukan malam hari seperti yang telah terjadi. Lebih dari itu, situasi menjadi tidak aman bgi anak-anak.

“Memang membawa anak-anak dalam kerumunan massa sangat berisiko apalagi di malam har, karena ada kerentanan bagi anak-anak saat berada dalam kerumunan, karena kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi dalam kerumunan tersebut,” kata Retno.

Baca Juga: Total Korban Tragedi Kanjuruhan 448 Orang, 125 Meninggal

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan sebanyak 488 orang menjadi korban tragedi Kanjuruhan usai pertandingan sepakbola Arema versus Persebaya itu. Dari 448 korban, 302 orang di antaranya mengalami luka ringan, 21 orang luka berat, dan 125 orang meninggal dunia.***

 

Sumber: Detik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *