Oleh Helfizon Assyafei
Kabar itu mengejutkan; legenda bulutangkis Indonesia Markis Kido meninggal dunia, Senin (14/6) di Gor Petrolin Alam Sutera Tenggerang. Sedang bermain bersama rekan-rekannya yang juga para jawara bulutangkis Indonesia Candra Wijaya dkk. Menurut Candra, Kido sebenarnya baik-baik saja saat bermain. Tetapi ketika hendak pindah lapangan usai set pertama, Kido tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri. Dilarikan ke RS Omni. Belum dipastikan penyebabnya. Dugaan sementara serangan jantung. Innalillahi wainna ilaihi rojiun.
Kido adalah atlet kelas dunia. Masih muda. Ia wafat dalam usia 36 tahun. Saat pertarungan dramatisnya dulu di ajang olympiade 2008 Beijing bersama Hendra Setiawan, saya yang menontonnya di layar kaca bolak-balik ke kamar kecil. Tegang menyaksikannya. Satu-satunya wakil Indonesia di Final yang masih tersisa. Apalagi lawannya tim tuan rumah China yang sedang di puncak performance dan bermain di kandang sendiri.
Ganda putra China waktu itu Cai Yun/Fu Hai Feng adalah nomor satu dunia. Gemuruh dukungan penonton tuan rumah membuat ganda China bermain dahsyat. Smes-smes berkecepatan 300 K Fu Hai Feng seperti peluru yang tak terbendung oleh Kido-Hendra. Sehingga set pertama dengan mudah dua naga bulutangkis China itu menang 21-12.
Memasuki set kedua saya sudah tak yakin lagi ketika itu. Dan membiarkan tv hidup tapi saya mengalihkan perhatian dengan membaca buku dan pindah ke ruang lain meski sorak-sorai di tv tetap kedengaran. Tak rela rasanya melihat kenyataan Indonesia kalah telak di ajang paling bergengsi itu. Ternyata set kedua itulah titik balik Kido-Hendra. Mereka bangkit bagai Garuda yang mengamuk. Dan melipat Cai Yun/Fu Hf dengan 21-11.
Set ketiga saya bergegas menonton lagi. Kejar-mengejar angka. Dalam permainan keras, cepat dan berkelas. Benar-benar menguras energi dan mental kedua pasangan yang berlaga. Jangankan mereka yang bertarung, yang menonton seperti saya ikut tegang pula. Ketika akhirnya duet China terkunci di angka 16, saya melihat Kido-Hendra bermain makin percaya diri. Sebaliknya lawan makin tertekan. Dan akhirnya mereka menang 21-16. Lagu Indonesia Raya berkumandang di iven olahraga dunia tersebut.
Saat mereka datang ke Pekanbaru dalam iven Sirkuit Nasional (sirnas bulutangkis) di GOR Gelanggang Remaja, saya memburunya sampai ke ruang ganti pemain. Sekedar ingin menyalami dan foto bersama dua legenda Indonesia itu. Ternyata keduanya ramah sekali. Tak terlihat kesal usai bermain dan masih berkeringat diminta foto bersama. Foto itu sempat saya cetak dan pajang di rumah. Lalu hilang entah kemana saat anak-anak gotong royong memberishkan rumah. Sayang sekali filenya juga hilang.
Begitulah hidup dan mati datang dan pergi tanpa diminta. Sebagaimana halnya kita ‘rasanya’ tidak minta dilahirkan dan juga tidak minta dimatikan. Namun ada kuasa lain yang mengatur semua ini. Pemilik semua ini. Kematian itu selalu tak terduga. Seperti pintu keluar bagi setiap orang. Kita tak mengetahui seberapa jarak antara kita dan pintu itu. Yang bisa kita lakukan hanya terus berbekal. Dan banyak ingat bahwa hidup sebenarnya bukan di sini. Sebab setiap kita pasti akan melewati pintu itu. Sedang bermain bulutangkis ataupun tidak. Semua hanya soal waktu.
Pekanbaru, 15 Juni 2021
[helfizon assyafei]Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.