Pekanbaru (Riaunews.com) – Etika profesi harus dipatuhi dalam lingkungan kerja. Terlebih bagi para pegawai negara, khususnya lagi para penegak hukum.
Demikian diungkapkan Mantan Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Kuantan Singingi (IPMAKUSI) Pekanbaru Rudri Misdianto Saputro, S.H, terkait kalahnya Kejaksaan Negeri Kuansing yang saat ini dipimpin Hadiman, dalam proses sidang praperadilan tersangka korupsi.
“Kasus pertama yang kalah adalah penggeledahan dan penyitaan yang diajukan oleh Aries Susanto dalam dugaan kasus korupsi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kuantan Singingi,” sebut Rudri, dalam keterangan tertulisnya, Ahad (31/10/2021), sebagaimana dilansir Cakaplah.
Katanya lagi, Kejari Kuansing juga kalah pada praperadilan yang diajukan Kepala Dinas Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Hendra AP, dalam kasus dugaan penyimpangan dana Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD).
“Yang ketiga, kalah atas praperadilan yang diajukan Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Riau, Indra Agus Lukman atas kasus dugaan Tipikor kegiatan Bimtek di Dinas ESDM Kuansing pada tahun 2013,” tambahnya.
Dia menilai, dari rentetan kejadian itu, Kepala Kejari Kuansing Hadiman, belum menjalankan dan menjaga etika profesi sebagai pedoman hidup seorang pegawai untuk memberikan pelayanan profesional kepada masyarakat.
“Seharusnya Kajari memberikan pesan penuh dengan kesejukan kepada publik. Instansi yang begitu mulia harusnya mengedepankan tingkah laku yang baik di mata masyarakat, bukannya menimbulkan opini-opini yang mengambang dan justru membuat masyarakat terpecah belah,” imbuhnya soal penetapan tersangka kepada para pejabat tersebut namun malah kalah saat diajukan Praperadilan.
Kata Rudri, kekalahan Hadiman dalam praperadilan membuktikan bahwa Kajari Kuansing telah menggunakan kekuasaan terkesan secara ugal-ugalan dalam menegakkan kasus hukum. Dikarenakan dalam sidang praperadilan yang diuji adalah prosedural dalam menegakkan hukum oleh Kejaksaan Negeri Kuansing, baik itu dalam penggeledahan, penyitaan ataupun penetapan tersangka.
“Selain itu, penegakan hukum yang salah dalam melaksanakan prosedur adalah penegak hukum yang tidak taat hukum dan rentan dijadikan alat politik oleh kelompok-kelompok tertentu,” ketusnya.
Di luar itu, Rudri menilai, polemik yang cukup pelik juga terjadi mengenai uang sitaan kasus Hendra AP yang sampai saat ini tidak ada kejelasannya.
“Dimana dalam proses penyitaan tersebut tidak sesuai dengan prosedur di dalam KUHP yaitu pasal 39 ayat 1 KUHAP, yang menyebutkan penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Penyitaan uang tersebut tidak mendapatkan penetapan izin sita oleh Pengadilan Negeri Taluk Kuantan. Sekarang kita tidak tahu uang yang disita secara ilegal oleh Kejari Kuansing tersebut keberadaannya dimana,” sambungnya.
Rudri yang sedang menempuh pendidikan Pascasarjana Progam Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) ini berpandangan, bahwa Hadiman tidak pantas mendapatkan gelar jaksa terbaik ke-1 di Riau dan atau ke-3 terbaik se-Indonesia.
“Tapi Hadiman pantas mendapat gelar jaksa nomor 1 tidak profesional dengan dibuktikan 3 kali kalah dalam sidang praperadilan,” katanya mengkritik.
Kalahnya Kejari Kuansing di Prapradilkan hingga 3 kali, kata Rudri, jelas menciderai institusi penegakan hukum.
“Kesan politisnya lebih kental terasa dari pada penegakan hukum yang jujur dan adil dalam hal memberantas tindak pidana korupsi. Selanjutnya saya berharap rentetan kekalahan dan kecerobohan Kajari Kuansing ini mendapat atensi dari Kejaksaan Agung dan segera mencopot Hadiman sebagai Kajari Kuansing,” tandasnya.***