Jakarta (Riaunews.com) – Utang pemerintah Indonesia di era pemerintahan Presiden Jokowi bertambah Rp5.125,1 triliun.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan pertambahan terjadi pada periode 2015-2022. Meski bertambah, ia mengklaim penambahan jumlah utang selama tujuh tahun tersebut lebih rendah dibandingkan belanja negara yang dilakukan selama periode tersebut.
“Sepanjang 2015-2022, penambahan utang sebesar Rp5.125,1 triliun masih lebih rendah dibandingkan belanja prioritas (perlinsos, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur) sebesar Rp8.921 triliun,” ujarnya dalam cuitan Twitter yang dikutip Senin (5/6/2023).
Ia menyebut belanja yang lebih besar daripada penambahan utang tersebut menandakan manfaat yang diterima masyarakat jauh lebih besar. Sebab, meski utang bertambah belanja untuk kebutuhan masyarakat tidak berkurang dan justru meningkat setiap tahunnya.
“Jadi manfaat melebihi utang. Hal ini menunjukkan pembangunan infrastruktur terus menjadi salah satu prioritas sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi. Selain itu, utang juga digunakan untuk ketersediaan sarana pendidikan dan kesehatan untuk mendukung pembangunan kualitas SDM,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira tak sepenuhnya sehaluan dengan klaim Yustinus. Ia mengatakan klaim pemerintah; utang bermanfaat bagi pembangunan infrastruktur nyatanya tidak berkorelasi dengan kenaikan indeks logistik.
Menurutnya, infrastruktur tidak menurunkan biaya logistik secara signifikan.
Bhima mengatakan yang terjadi belakangan ini justru semakin banyak utang untuk infrastruktur justru biaya logistik masih tinggi, indeks logistik anjlok, dan daya saing di sektor manufaktur terus menurun.
Mengutip data Logistics Performance Index (LPI) yang dirilis oleh Bank Dunia sebagai indikator kinerja logistik antarnegara di dunia, Indonesia berada pada peringkat 46 dari 160 negara pada 2018, masih jauh di bawah Singapura yang berada di peringkat 7 dan Thailand yang di peringkat 41.
Pada kuartal pertama 2021, biaya logistik Indonesia juga masih mencapai 23,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Persentase biaya ini jauh lebih tinggi dibandingkan biaya logistik negara di kawasan ASEAN.
Untuk Malaysia saja misalnya, biaya logistik hanya mencapai 13 persen dari PDB. Sementara itu berkaitan dengan daya saing industri manufaktur, Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Desember 2022 mengungkapkan porsi ekspor manufaktur Indonesia di dunia hanya bertahan di angka 1,1 persen.
Padahal Vietnam yang pada 2000-an lalu baru 0,2 persen bisa naik jadi 1,6 persen pada 2020 kemarin.
“Padahal infrastruktur dibangun dengan tujuan agar sektor manufaktur memiliki daya saing. Sekarang industri manufakturnya juga mengalami tekanan. Jadi infrastruktur utang ini dipertanyakan,” kata Bhima kepada CNNIndonesia.com.
Pun demikian dengan dampaknya ke pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan. Di tengah utang yang kian bertambah besar, realisasi pertumbuhan ekonomi di era pemerintahan Jokowi juga masih terkunci dan tak bisa lepas dari kisaran 5 persen.
Hal yang sama juga terjadi pada pengentasan kemiskinan dan pengangguran.
Data BPS masih menunjukkan jumlah orang miskin di Indonesia masih mencapai 26,36 juta orang per September 2022, naik tipis dibandingkan pada akhir Maret 2022 sebanyak 26,16 juta orang.
Secara persentasenya, artinya jumlah masyarakat miskin di Indonesia per September tembus 9,57 persen dari total jumlah penduduk, naik 0,03 persen dibandingkan Maret 9,54 persen.
Bhima menyebut utang menjadi kurang produktif, salah satunya dipicu oleh adanya korupsi di pembangunan proyek infrastruktur yang masih cukup tinggi. Salah satu kasus korupsi proyek yang ia soroti di PT Waskita Karya.
Beberapa waktu lalu, KPK memang menetapkan bos Waskita Karya Destiawan Soewardjono menjadi tersangka korupsi. Ia diduga terlibat pencairan dana supply chain financing (SCF) dengan menggunakan dokumen pendukung palsu untuk digunakan sebagai pembayaran utang-utang perusahaan yang diakibatkan pencairan pembayaran proyek-proyek pekerjaan fiktif.
Nah, Bhima karena itu meminta pemerintah untuk segera memperbaiki diri agar utang yang dihimpun bisa benar-benar produktif dan bisa digunakan untuk memacu ekonomi dalam negeri.
Karena waktu Presiden Jokowi tinggal sebentar, Bhima mengatakan perbaikan perlu dilakukan presiden terpilih 2024 mendatang. Ia perlu melakukan langkah-langkah progresif untuk menurunkan beban utang. Langkah pertama yang bisa dilakukan yaitu dengan meminta debt cancellation atau pembatalan utang.
Ia mengatakan sebagian pinjaman bisa digantikan dengan program. Langkah kedua yaitu dengan skema penundaan pembayaran utang atau debt service suspension initiative yang ada di dalam G20.
Meski bersifat temporer, debt service suspension initiative diharapkan bisa menjadi ruang bagi presiden selanjutnya untuk mengatur ulang kembali beban utang pemerintah.
Langkah ketiga, Bhima menyebut presiden harus berani dan tegas memangkas belanja yang boros dan tidak berkorelasi terhadap daya saing, misalnya kenaikan belanja pegawai. Nah, anggaran atau dana hasil pemangkasan bisa digunakan untuk membiayai kegiatan lain sehingga tidak mengandalkan utang.
“Ini sudah minta gaji menteri naik, gaji PNS naik. Harusnya belanja pegawai itu dikurangi karena salah satu kontributor yang membuat menyempitnya ruang fiskal,” kata Bhima.
Langkah selanjutnya pemerintah juga harus mengoptimalkan penerimaan pajak. Bhima menyebut rasio pajak Indonesia harusnya minimum di atas 12 persen.
“Jadi enggak bisa menggunakan utang untuk pembangunan tapi menggunakan pajak untuk pembangunan. Itu yang benar,” katanya.
Utang Tak Efektif
Sementara itu, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan indikator utang efektif tidak hanya sekedar dilihat dari banyaknya proyek pembangunan infrastruktur atau masifnya pemberian bansos. Namun bagaimana utang mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi dan kemudian meningkatkan penerimaan perpajakan.
Ia menyebut indikator utang efektif adalah meningkatnya tax ratio yang mampu membayar beban utang.
“Dari ukuran tersebut, utang kita saat ini sangat tidak efektif. Stok utang yang terus meningkat, dari kisaran 25 persen dari PDB pada 2014, menjadi kini di 2022 di kisaran 40 persen dari PDB, tidak diiringi dengan kenaikan kapasitas fiskal. Tax ratio kita sejak lama stagnan hanya di 10 persen dari PDB,” kata Yusuf.
Yusuf mengatakan utang baru yang besar pada era Jokowi bisa berdampak pada kenaikan beban bunga utang yang fantastis. Ia menyebut beban bunga utang pemerintah pada 2021 hanya Rp133 triliun dan pada 2022 naik menjadi Rp400 triliun. Pada tahun ini beban utang diperkirakan menembus Rp441 triliun.
Yusuf menjelaskan dengan pembayaran bunga utang pemerintah yang kini sudah diatas Rp400 triliun per tahun, maka beban bunga utang lebih dari 20 persen penerimaan pajak. Dengan kata lain, lebih dari seperlima penerimaan perpajakan habis hanya untuk membayar bunga utang saja.
“Beban bunga utang pemerintah ini jauh di atas angka yang aman di kisaran 7-10 persen dari penerimaan perpajakan,” kata Yusuf.
Yusuf menyebut beban utang pemerintah yang terus meningkat bisa membuat potensi pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang akan semakin melemah. Hal ini lantaran beban bunga utang yang tinggi membuat belanja publik menjadi sangat tidak berpihak pada orang miskin atau pro-poor.
Misalnya saat pandemi covid-19 di 2020, rakyat sangat membutuhkan bantuan, namun hampir 25 persen penerimaan perpajakan justru habis untuk membayar bunga utang.
“Dengan pembayaran bunga utang yang masif, sebagian besar anggaran publik mengalir hanya ke segelintir elit pemilik kapital sehingga daya beli rakyat dan permintaan agregat menjadi selalu tertekan, pertumbuhan ekonomi kita tidak pernah optimal. Sejak lama pertumbuhan ekonomi kita stagnan di kisaran 5 persen per tahun,” kata Yusuf.***
Sumber: CNN Indonesia