Jakarta (Riaunews.com) – Proyek pengembangan wisata eksklusif di Pulau Rinca Nusa Tenggara Timur (NTT) ramai dibicarakan akhir-akhir ini setelah foto seekor komodo seolah mengadang truk masuk resor Loh Buaya pada 23 September viral di media sosial.
Dua hari setelah kejadian, Kepala Balai Taman Nasional Komodo Lukita Awang menutup kawasan tersebut sampai 30 Juni 2021.
Baca: Taman Nasional Komodo Ditutup selama Pembangunan ‘Jurassic Park’
Lukita tidak menjawab apakah alasan penutupan karena foto ‘komodo mengadang truk’ tersebar luas dan mengundang kritik hebat dari publik. Ia hanya mengatakan pertimbangan penutupan adalah “proses percepatan penataan dan pembangunan sarpras wisata alam yang dilakukan Kemen PUPR” dan demi “peningkatan pelayanan dan keamanan wisatawan.”
Dilansir Tirto, Pulau Rinca adalah bagian dari Taman Nasional Komodo (TNK), selain Pulau Komodo, Pulau Padar, dan beberapa pulau kecil lain.
Tahun 2015, tiga menteri Kabinet Kerja mendatangi TNK dan mengatakan “sepakat mengembangkan kawasan ini sebagai andalan wisata Indonesia.” Regulasi terkait pun dikeluarkan. Ada dua perusahaan yang mendapatkan izin usaha penyediaan sarana pariwisata dari tujuh yang mengajukan, yaitu PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) melalui SK Mentri Kehutanan No. 796/Menhut-II/2014 dan PT Segara Komodo Lestari (SKL) Melalui SK Kemenhut No. 5.557/Menhut/II/2013.
Proyek ini semakin dipertegas setelah pemerintahan Joko Widodo lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019. SUNSPIRIT, LSM yang bergerak di bidang keadilan dan perdamaian sosial, mengatakan “melalui produk hukum terbaru ini jalan bagi pemilik perusahaan semakin dipermudah untuk dapat mengantongi Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) dalam kawasan Taman Nasional.”
Baca: UNESCO Diminta Surati Jokowi Hentikan Proyek ‘Jurassic Park’ NTT
Ketua Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp) Manggarai Besar Aloysius Suhartim Karya mengatakan ia dan para pegiat pariwisata di NTT pertama kali mendengar rencana pemerintah mengembangkan TNK pada 2016. Setelah melakukan kajian, pria yang biasa disapa Lois ini menyimpulkan proyek tersebut akan merusak habitat komodo, juga kehidupan masyarakat sekitar.
“Kalau pemerintah serius ingin memutus mata rantai kemiskinan, bukan solusinya membangun itu, bangun dulu otak-otak masyarakat. Tidak bisa masyarakat dijadikan objek, mereka harus jadi subjek,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin (26/10/2020).
Saat ini salah satu bukit di Loh Buaya sudah digusur untuk pintu keluar-masuk alat berat. Di sanalah komodo biasa mencari makan dan menghangatkan tubuh, katanya. Kemudian, ia mengatakan selama ini daya serap hotel-hotel untuk orang-orang lokal juga sangat minim.
Pada 2018, Formapp dan masyarakat mulai melakukan aksi-aksi penolakan, seiring dengan dimulainya pembangunan kawasan oleh PT KWE dan PT SKL, lewat Gerakan #Savekomodo. Karena desakan massa, Budhy Kurniawan, Kepala Balai TKN ketika itu, mengeluarkan surat penghentian aktivitas pembangunan untuk pihak korporat bernomor S.975/T.17/TU/KTA/8/2018 tertanggal 6 Agustus 2018.
Baca: Ada Jejak Luhut Binsar Panjaitan pada Proyek ‘Jurassic Park’ di Pulau Rinca
“Saat itu kami tertipu KLHK yang menjanjikan cabut izin dua PT itu. Tapi sampai hari ini mereka tidak dicabut dan malah berada di belakang investasi untuk mengkonversi,” ujar Lois.
Ketika itu Dirjen KSDAE KLHK Wiratno menyatakan tidak ada privatisasi di TNK. Kedua PT hanya diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Sarana Wisata Alam (IUPSWA). Hal tersebut, menurut Lois, justru mempertegas potensi kerusakan TNK.
Menurut data yang dihimpun Formapp, PT SKL mendapat IUPSWA di Pulau Rinca seluas 22,1 hektare dan 2,21 hektare untuk membangun 10 vila double deck, 7 vila single deck, 2 penginapan masing-masing 8 kamar, 3 restoran, serta fasilitas penunjangnya. Sementara PT KWE mendapat IUPSWA 151,94 hektare di Pulau Komodo dan 274,13 hektare di Pulau Padar untuk membangun objek yang sama.
Formapp sempat berencana melakukan audiensi dengan Kementerian PUPR, KLHK, dan Presiden Joko Widodo dengan dimediasi DPRD Mabar pada 24 Maret 2020. Namun upaya ini gagal. Pemerintah tidak merespons. Aksi penolakan pun berlanjut pada Agustus 2020 di DPRD Mabar.
“Proyek ini hanya mengedepankan aspek ekonomi. Pemerintah menjadikan kemiskininan Labuan Bajo sebagai komoditas politik, mengkonversi lahan konservasi menjadi lahan investasi ini,” ujarnya.
Konservasi Dihantam Investasi
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas menilai pemerintah menabrak regulasi mereka sendiri. TNK merupakan kawasan konservasi yang tidak bisa diintervensi oleh manusia dan bisnis. Terlebih, UNESCO menetapkan TNK sebagai warisan dunia dan harus dilindungi sejak 1991.
“Melihat keunikan komodo, itu harusnya dilindungi. Dan, memang [kawasan] konservasi enggak diapa-apain. Ada pengecualian wilayah yang bisa digunakan,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin.
Menurutnya pembangunan ini akan mempertegas bahwa pemerintahan Jokowi tidak lagi memiliki perspektif perlindungan lingkungan. “Pemerintahan Jokowi seperti tidak ada arah. Walau dia bilang tidak ada visi misi menteri, ujung tombak pemerintahan ini malah Pak Luhut; dia mencanangkan wisata premium di Pulau Komodo dan wilayah lain,” katanya.
Baca: Viral Foto Komodo vs Truk, Walhi Kritik Proyek ‘Jurassic Park’ NTT
Oktober tahun lalu, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pemerintah hendak menyulap TNK menjadi semacam Jurassic Park–film fiksi tentang makhluk-makhluk purba yang dikerangkeng dan akhirnya memangsa manusia. Ia juga menginginkan TNK berkembang seperti wisata alam di Afrika yang berbiaya mahal. Pada Februari 2020, ia menyatakan Amerika Serikat berminat berinvestasi untuk proyek tersebut.
Juru Bicara Menko Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi mengklaim proyek wisata super premium di TNK dikerjakan dengan prinsip hati-hati untuk tetap menjaga mandat UNESCO. Para pekerja ditemani ranger Balai TNK agar tidak mengganggu habitat komodo dan mengganggu proses pembangunan.
“Apabila dikontrol dengan baik dan meminimalisasi kontak satwa, maka aktivitas wisata pada kondisi saat ini tidak membahayakan populasi komodo area tersebut (Pulau Rinca),” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin.
Hal serupa dikatakan Kementerian LHK via Twitter. Mereka mengatakan di area pembangunan Loh Buaya ada sekitar 15 komodo, dan semuanya diawasi oleh 5-10 petugas “untuk memastikan satwa komodo aman dan terlindungi.”
Mereka juga mengatakan “hanya sedikit areal yang dibangun” di Pulau Rinca. “Jadi sudah dijaga betul tentang hal ini. Penggunaan alat berat pun telah dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.”***