Oleh: Ilham Bintang
MENYEDIHKAN menyaksikan penampilan Prof Mahfud MD dalam program Indonesia Lawyers Club ( ILC-TVOne) Selasa (20/10) malam.
Menkopolhukam itu, begitu jauh dia berbicara untuk jarak yang begitu dekat: Mengkonfirmasi kebenaran ucapan George Washington yang pernah mengatakan “kalau mau lihat manusia berubah berikan dia kekuasaan”.
Seperti itulah Mahfud kini. Bandingkanlah Mahfud dengan sebelum ini, paling tidak tahun lalu. Masih segar dalam ingatan kita saat dia meradang lantaran batal (dibatalkan) maju sebagai Cawapres mendampingi Jokowi sebagai Capres dalam Pilpres 2019.
Kita mahfum kalau dia gusar. Sudah ukur jahit pakaian putih. Malah pada hari H, ia pun sudah stanby di satu tempat menunggu pengumuman resmi. Eh, ternyata bukan dia yang dipilih.
“Tidak ada hal baru dari pengkritik pemerintah sekarang,“ ujarnya. Secara khusus dia menyebut Gatot Nurmantyo, Amien Rais dan Dien Syamsuddin.
“Justru kritik itu dulu kita yang sampaikan kepada mereka,” tambahnya.
Hanya kritik Rizal Ramli pada sikap represif aparat pengamanan yang dia akomodasi dan janjikan akan dievaluasi.
Tema ILC malam itu “Satu Tahun Jokowi Maruf: Dari Pandemi Sampai Demonstrasi” seperti biasa, Presiden/Host ILC sesuai tems membagi jumlah pembicara secara berimbang pihak yang prokontra. Pihak pemerintah VS para penanggap mewakili keahlian atau kompetensi di bidangnya masing-masing.
Budayawan Sudjiwo Tedjo diposisikan netral. Biasanya diberi kesempatan tampil terakhir sebagai pamungkas diskusi. Tapi kali ini tidak.
Yang mewakili pemerintah adalah Ketua Badan Legislasi DPR-RI, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Menkominfo Johny G Plate, Kepala BKPM Bahlil Lahadal Kepala BNPB Doni Mordano, dan Prof Mahfud MD.
Didukung Ketua Badan Legislasi DPR -RI Supratman Andi Adgas yang menguraikan kronologis pembahasan UU Omnibus Law yang dinilainya sudah sesuai prosedur. Dia menjamin tidak ada penyelundupan pasal seperti yang dituduhkan sebagian orang.
Semua pembicara “wakil pemerintah” tampil berbicara secara normatif, kecuali Prof Mahfud. Ia juga diberi kesempatan bicara terakhir, maka posisinya seperti menjadi pamungkas. Keuntungan di posisi itu, banyak. Leluasa menggunakan waktu, terutama leluasa mengcounter dan mementahkan argumentasi pembicara terdahulu, tanpa bisa dibalas. Karena posisi pamungkas itu sering diasumsikan isinya sebagai kesimpulan acara.
Karni Ilyas sering memilih pembicara di posisi orang netral untuk pembicara terakhir, bukan wakil kedua pihak yang “berkelahi pikiran ”. Jarang yang ditunjuk dari dua kelompok yang prokontra. (Saya sengaja menghindari istilah Cebong VS Kampret untuk tidak memperpanjang polarisasi politik identitas di masa Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019).
Mahfud tengah berbicara ketika di layar ponsel saya muncul notifikasi. Dari seorang kawan, wartawan senior, mantan pemimpin redaksi koran penting. Dia kirim pesan via WA. Dia curhat lelah mengikuti penuturan Mahfud, mencurigai Karni Ilyas memberi keistimewaan pada Menkopolhukam menggunakan waktu hampir setengah jam menurut hitungan dia.
Saking kecewanya, dia mematikan televisi saat Mahfud masih bicara. Tanggapan saya kepada kawan itu begini. Jangan salah, Mahfud justru membenarkan seluruh kritik pembicara yang mengkritik pemerintah dengan memaparkan semua pemerintahan sebelum Jokowi melakukan hal sama. Dari Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Megawati. Semua juga punya kesalahan, bahkan semua dianggap melanggar Pancasila. Itu yang membuat Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur. Mahfud mengisahkan seperti dalam joke pedagang jeruk asal Madura yang diprotes pembeli karena jeruknya kecut. Pedagang itu berkilah . “Sampeyan masih mending cuma beli sekilo, tapi ribut. Saya beli satu colt asem semua, diam saja”.
Tiga Menguak Omnibus Law
Di bagian para penanggap atau kontra pemerintah ada ekonom Rizal Ramli, pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar, Ketua YLBH Asfinati, Presidium KAMI, Gatot Nurmantyo, dan lawyer senior Amir Syamsuddin.
“Daging wagyu ILC (meminjam istilah Rizal Ramli) terletak pada Trio Asfinawati, Zainal Arifin Mochtar, dan Rizal Ramli sendiri yang menguak tuntas seluruh isi Omnibus Law. Dari Trio inilah muncul sinyalemen keterlibatan kekuatan oligarki dalam pembuatan Omnibus Law.
Mereka adalah penguasa pertambangan dan penguasa lahan perkebunan yang berperan besar dalam kelahiran UU Sapujagat itu. Salah satu disebut adalah Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian.
Asfinawati mengulik pada ancaman nasib buruh, kerusakan lingkungan secara mendalam dengan argumentasi yang sungguh memukau. Rizal Ramli membedah wajah ekonomi Indonesia yang menurut dia setahun sebelum pandemi memang sudah collaps. Utang negara yang menumpuk, bunganya 2 persen lebih mahal dari harga pasar, membuat beban negara makin berat. Bunga utang saja harus dibayar dengan utang pula. Data-data yang dipaparkan Rizal Ramli amat mencengangkan.
Selain menguliti sisi ekonomi, Rizal juga mengecam tindakan represif aparat penegak hukum terhadap pengkritik Omnibus Law. “Mereka aktivis, tetapi diperlakukan bagaikan teroris. Wajah aktifitis itu dipertontonkan ke publik dengan tangan diborgol”. Kritik Rizal ini memang mewakili kritik umumnya masyarakat. “Borgol itu tidak akan menghentikan mereka,” kata Rizal.
Zainal Arifin Mochtar membedah isi dan proses penyusunan Omnibus Law yang dia nilai ugal-ugalan. Lengkap dia memaparkan pasal-pasal dalam Omnibus Law yang saling bertumpang tindih. Padahal, tujuan UU dibuat untuk mengoreksi lebih 79 UU yang isinya bertumpang tindih. Belum lagi banyak aturan yang dilimpahkan untuk diakomodasi dalam PP dan peraturan menteri.
“Idenya mau menyederhanakan peraturan, tapi praktiknya malah menambah aturan”. Tidak cuma itu, Zainal juga menyisir pasal-pasal yang diklaim DPR-RI sudah rampung pada waktu diketok 5 Oktober lalu, tapi ternyata isinya berbeda dengan naskah yang dikirim kepada presiden tujuh hari setelahnya.
Kembali ke Mahfud yang saat bicara teman saya mematikan televisinya. Dia kecewa dan kesal karena yang mewakili pemerintah tidak banyak menanggapi sinyalemen Trio menguak Omnibus Law itu. “By design semua orang pemerintah hanya tampil untuk menembak orang KAMI, khususnya Jendral Gatot. Targetnya untuk membunuh karakter Mantan Panglima TNI itu”. Menyedihkan, keluhnya.
Saya mencoba menghiburnya. Sabar. Jangan khawatir. Penonton ILC segmented: hanya yang paham yang mau nonton sampai tengah malam. Sampai cara vulgar mereka menyudutkan Gatot pun penonton tahu. Sayang Anda terburu mematikan TV. Karni Ilyas memang tampak seperti membiarkan Mahfud bicara panjang lebar. Tapi dengar closingnya, KI “menggebuk” Mahfud dan semua wakil pemerintah. Karni menutup ILC mengutip ucapan novelis Amerika, Stephen King.
“Hanya musuhmu yang berbicara jujur. Teman dan kekasihmu akan selalu berbohong, karena tugas merekalah untuk membuatmu senang”.***
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.