Minggu, 19 Mei 2024

Tahukah Anda, Gelar ‘Haji’ Sebagai Cap Teroris Dari Penjajah Belanda

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Sejumlah tokoh pahlawan nasional yang mendirikan organisasi pergerakan sepulang berhaji ke Tanah Suci Makkah.

Riaunews.com – Tidak ada yang menyangka, ternyata gelar haji dahulu merupakan pemberian yang bersifat politik. Padahal, titel sematan di depan nama itu sekarang berubah sifat menjadi sebuah kehormatan.

Bagaimana tidak, mayoritas hanya orang-orang yang memiliki rezeki lebih dan berkemampuan fisik mumpuni yang mampu menunaikan ibadah haji ke tanah suci Arab Saudi.

Sebagaimana Okezone kutip dari sejumlah sumber, Rabu (29/8/2021), kala itu warga pribumi yang baru pulang berhaji bakal langsung mendapat gelar ‘haji’ di depan namanya.

Alih-alih disebutkan kalau pemberian tersebut merupakan suatu kehormatan, penjajah Belanda yang sedang berkuasa ternyata menerapkan peraturan wajib menambahkan gelar haji untuk menandai mereka dan mudah mengawasinya.

Orang-orang yang menunaikan ibadah kelima dari rukun Islam ini memang rata-rata adalah tokoh masyarakat. Setelah pulang berhaji, mereka ditakutkan justru memberikan perubahan di lingkungan sekitar, dan akhirnya membahayakan Pemerintah Hindia-Belanda.

Sebut saja KH Ahmad Dahlan yang ketika pulang berhaji mendirikan Muhammadiyah. Lalu ada KH Hasyim Ashari membentuk Nahdlatul Ulama (NU) usai dari Tanah Suci. Kemudian Samanhudi membuat Sarekat Dagang Islam sepulangnya dari berhaji. HOS Cokroaminoto mendirikan Sarekat Islam setelah menunaikan ibadah haji. Serta Ki Hajar Dewantara menjadi aktivis pendidikan di dalam negeri.

Tokoh-tokoh umat Islam di masa perjuangan memang menjadi sosok yang sangat semangat menggelorakan kemerdekaan. Jadi, pembentukan organisasi-organisasi berlandaskan agama Islam tersebut mengkhawatirkan penjajah Belanda. Maka pemerintahan Negeri Kincir Angin memutuskan untuk wajib menyematkan gelar ‘haji’ di depan nama orang yang baru pulang dari Tanah Suci. Hal itu bahkan dituangkan dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad Tahun 1903.

Kekhawatiran Belanda terhadap aktivitas umat Islam yang pulang dari ibadah berhaji tidak berhenti sampai di sana. Pemerintah Hindia-Belanda bahkan menetapkan Pulau Onrus dan Pulau Khayangan (sekarang Pulau Cipir) di Kepulauan Seribu menjadi lokasi karantina untuk orang-orang yang pulang haji.

Jamaah ada yang dikarantina di sana untuk dirawat dan diobati karena sakit akibat jauhnya perjalanan menaiki kapal laut, tetapi ada juga yang disuntik mati kalau dipandang mencurigakan. Oleh karena itu, gelar haji menjadi semacam cap yang memudahkan pemerintahan kolonial untuk mengawasi umat yang akan pulang ke kampung halaman usai berhaji. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *