Jakarta (Riaunews.com) – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyerahkan setidaknya enam temuan kejanggalan vonis lepas dua terdakwa pembunuhan anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) sebagai Amicus Curiae ke Mahkamah Agung (MA).
Diketahui, Amicus Curiae, atau secara harfiah berarti sahabat pengadilan, berarti pihak yang merasa berkepentingan dan memberikan pendapatnya terhadap suatu perkara. Namun, sifatnya hanya opini, bukan perlawanan hukum.
“Amicus Curiae ini kami ajukan sebagai bentuk partisipasi masyarakat sipil dalam membantu pengadilan untuk menggali secara menyeluruh atas kasus unlawful killing yang dialami sejumlah laskar FPI,” ujar Kepala Divisi Hukum KontraS Andi Muhammad Rezaldy, usai menyerahkan laporan kejanggalan itu kepada MA, Selasa (29/3/2022).
Dari hasil pemantauan yang telah dilakukan KontraS, terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses hukum kedua terdakwa.
Kejanggalan pertama, kata dia, kedua terdakwa tidak pernah menjalani upaya paksa penahanan sejak ditetapkan sebagai tersangka hingga diadili melalui proses peradilan.
Kedua, para terdakwa pembunuhan Laskar FPI ini dinilai tidak menjalankan prosedur dengan benar ketika melakukan penangkapan hingga berujung kepada konflik dan kontak senjata.
“Dalam proses persidangan juga terungkap bahwa ada pernyataan (Briptu Fikri Ramadhan) yang berbeda satu sama lain. Jadi, keterangan dalam BAP, termasuk keterangan yang ada dalam proses persidangan, itu kontradiktif atau berbeda,” jelasnya.
Keempat, KontraS menemukan dugaan adanya kekerasan yang diterima oleh anggota Laskar FPI sebelum ditangkap oleh kepolisian. Temuan ini diperkuat keterangan Komnas HAM dalam persidangan terkait adanya saksi yang melihat pemukulan terhadap empat Laskar FPI sebelum peristiwa penembakan.
Kejanggalan lainnya, Andi mengatakan, terdapat sejumlah warga yang mengaku diintimidasi oleh aparat kepolisian untuk tidak merekam dan menghapus file peristiwa penangkapan.
Hal tersebut menurut KontraS, sebagai bentuk upaya aparat untuk menghilangkan jejak bukti pelanggaran HAM yang dilakukan.
Terakhir, KontraS menilai vonis lepas Majelis Hakim yang menyebut tindakan penembakan sebagai pembelaan terpaksa tidak bisa dibenarkan.
“Dalam kesimpulannya kami mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan para terdakwa merupakan tindakan unlawfull killing. Sehingga sudah sepatutnya para terdakwa diproses secara hukum dan dilakukan penahanan terhadap mereka,” jelasnya.
Oleh sebab itu, KontraS berharap Mahkamah Agung khususnya Hakim Agung yang menerima kasasi agar dapat mempertimbangkan Amicus Curiae yang telah diberikan sebelum memutus perkara tersebut.
“Hakim kasasi ketika memeriksa harus cermat dan jeli karena dalam kasus ini kami melihat berbagai keganjilan yang mengarah pada adanya keganjilan atas putusan yang diberikan oleh majelis hakim,” pungkasnya.
Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara dugaan pembunuhan di luar proses hukum (unlawful killing) terhadap Laskar Front Pembela Islam (FPI), memutus lepas Terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur-unsur pidana yang didakwakan terbukti dilakukan pelaku. Namun, berdasarkan Pasal 49 KUHP, Majelis Hakim menilai perbuatan terdakwa sebagai pembelaan terpaksa sehingga tidak dapat dijatuhkan pidana.***