Senin, 25 November 2024

Komunitas Tunarungu Tersinggung Risma Paksa Anak Tunarungu Bicara

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Menteri Sosial Tri Rismaharini memaksa seorang anak tuna rungu untuk bicara di peringatan Hari Disabilitas Nasional, Rabu (1/12/2021).

Jakarta (Riaunews.com) – Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini disorot karena memaksa penyandang disabilitas tunarungu berbicara di depan publik. Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) merasa tersinggung oleh tindakan Risma tersebut.

“Kami merasa tersinggung, bahkan merasa heran karena omongan Ibu Risma itu mencerminkan pelanggaran UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,” tulis Gerkatin dalam keterangan tertulis, Kamis (2/12/2021), sebagaimana dilansir Detikcom.

Gerkatin mengingatkan soal pasal penghormatan terhadap penyandang disabilitas tuli. Termasuk pelanggaran hak berekspresi mereka.

“Intinya, ada pasal penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas rungu/tuli, hak berekspresi dan hak memperoleh informasi dan komunikasi,” lanjutnya.

Momen Risma Paksa Anak Tunarungu Bicara

Sebelumnya, aksi Risma itu terjadi pada Rabu, 1 Desember 2021, di Gedung Aneka Bhakti Kemensos, yang juga disiarkan langsung melalui kanal YouTube Kemensos RI. Awalnya Risma di atas panggung bersama penyandang disabilitas rungu wicara dan autisme bernama Anfield Wibowo.

Anfield, yang memang gemar melukis, membawa lukisannya yang baru saja dilukis di lokasi. Anfield lantas memegang mikrofon dan mencoba berbicara.

“Apa? Yang mau disampaikan ke Ibu apa?” tanya Risma ke Anfield.

Anfield tampak memegang kertas dan mencoba berbicara. Seorang juru bicara bahasa isyarat membantu memperjelas apa yang disampaikan Anfield.

“Selamat siang, Ibu dan Bapak, hadirin sekalian di sini. Semoga Ibu Menteri suka dengan lukisan Anfield. Terima kasih,” kata Anfield melalui juru bicara bahasa isyarat di Kemensos.

Setelah itu, Risma mengajak seorang penyandang disabilitas tunarungu wicara lain bernama Aldi ke atas panggung.

“Aldi, ini Ibu. Kamu sekarang harus bicara, kamu bisa bicara. Ibu paksa kamu untuk bicara. Ibu nanam… eh melukis, tadi melukis pohon, ini pohon kehidupan. Aldi ini pohon kehidupan. Ibu lukis hanya sedikit tadi dilanjutkan oleh temanmu, Anfield. Nah, Aldi, yang Ibu ingin sampaikan, kamu punya di dalam, apa namanya, pikiranmu, kamu harus sampaikan ke Ibu, apa pikiranmu,” ucap Risma.

“Kamu sekarang, Ibu minta bicara, nggak pakai alat. Kamu bisa bicara,” imbuh Risma.

Aldi lantas tampak mencoba berbicara tapi suaranya lirih. Risma terus meminta Aldi berbicara tanpa menggunakan alat bantu.

Tak berapa lama, ada seorang perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan tunarungu Indonesia (Gerkatin) bernama Stefanus yang naik ke panggung. Stefanus tampak berbicara menggunakan bahasa isyarat yang diterjemahkan langsung oleh juru bicara bahasa isyarat.

“Ibu, mohon maaf, saya mau berbicara dengan ibu sebelumnya,” ucap Stefanus.

“Bahwasanya anak tuli itu memang menggunakan alat bantu dengar tapi tidak untuk kemudian dipaksa bicara. Tadi saya sangat kaget ketika ibu memberikan pernyataan. Mohon maaf, Bu, apa saya salah?” imbuhnya.

“Nggak, nggak,” jawab Risma.

“Saya ingin menyampaikan bahwasanya bahasa isyarat itu penting bagi kami, bahasa isyarat itu adalah seperti mata bagi kami, mungkin seperti alat bantu dengar. Kalau alat bantu dengar itu bisa mendengarkan suara, tapi kalau suaranya tidak jelas itu tidak akan bisa terdengar juga,” kata Stefanus.

Risma kemudian memberikan penjelasan. Risma mengaku tidak mengurangi peran dari bahasa isyarat untuk para penyandang disabilitas tunarungu wicara.

“Stefan, Ibu tidak… Ibu tidak mengurangi bahasa isyarat, tapi kamu tahu, Tuhan itu memberikan mulut, memberikan telinga, memberikan mata kepada kita. Yang ingin Ibu ajarkan kepada kalian, terutama anak-anak yang dia menggunakan alat bantu dengar sebetulnya tidak mesti dia bisa, sebetulnya tidak mesti bisu. Jadi karena itu kenapa ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mulut, mata, telinga. Jadi Ibu tidak melarang menggunakan bahasa isyarat tapi kalau kamu bisa bicara maka itu akan lebih baik lagi,” kata Risma.

Risma lantas mengaku belajar tentang hal itu dari Angkie Yudistia, yang merupakan penyandang disabilitas tunarungu dan saat ini menjadi Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi). Risma menyebut Angkie berlatih berbicara sehingga bisa sejelas sekarang.

“Saya belajar ini dari Mbak Angkie. Mbak Angkie dulu pada waktu berapa tahun lalu waktu Ibu awal jadi wali kota ketemu dengan Mbak Angkie. Saat itu Mbak Angkie bicaranya tidak jelas seperti sekarang, tapi sekarang karena dilatih terus oleh Mbak Angkie, sekarang bicaranya sangat jelas. Mengerti, ya, Stefan?” kata Risma.

Kemudian Stefan merespons penjelasan Risma. Stefan mengatakan kemampuan bicara anak tuli itu berbeda-beda.

“Jadi kemampuan bicara anak tuli itu bermacam-macam. Jadi ada yang memang tuli sejak kecil seperti Mbak Angkie. Kemampuan bahasa isyaratnya juga beragam-ragam, ada yang bisa berbahasa isyarat, ada yang tidak bisa berbahasa isyarat. Jadi itu yang harus dihargai. Plus bahasa isyarat itu bisa memberikan pemahaman pada orang tuli. Contohnya ada juru bicara bahasa isyarat, orang tuli bisa melihat juru bicara bahasa isyarat dengan jelas ketika situasi acara seperti ini. Itu juga sebuah akses bagi kami,” kata Stefan melalui juru bicara bahasa isyarat.

“Aku sangat setuju itu, tapi saya berharap kita harus mencoba. Setuju? Kita harus mencoba,” kata Risma kemudian.

“Saya hanya ingin menyampaikan saja. Mohon maaf tadi bukan tidak menghormati Ibu, bukan tidak setuju dengan Ibu, tapi saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya saja,” ucap Stefan.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *