Oleh : Nelly, M.Pd.
Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 yang telah diputuskan DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu tetap dilaksanakan pada 9 Desember mendatang. Sebanyak 738 bakal pasangan calon telah mendaftar Pilkada 2020 siap mengikuti pemilihan pemimpin. Kampanye pun telah digelar KPU dan seperti biasa, tiap paslon bergriliya mendatangi rakyat demi meraih simpati, tak lupa juga janji-janji telah disampaikan dengan topik seputar memberikan kesejahteraan untuk rakyat.
Anehnya, walau sudah berulang ditipu-tipu pesta demokrasi lima tahunan masyarakat masih memiliki harapan yang besar terhadap pemilihan kepala daerah (pilkada). Hampir rata-rata menginginkan dan berharap akan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. Mereka ingin dengan pemimpin baru masyarakat menjadi lebih baik. Pendidikan serta keamanan terjamin, masyarakat pintar dan cerdas, biaya kebutuhan hidup terpenuhi dan tercukupi, keluarga sehat. dan perekonomian terjamin.
Inilah faktanya, demokrasi memang berhasil menipu umat. Bayangkan saja demokrasi begitu dielu-elukan oleh umat, padahal sistem politik ini lahir dari sejarah kelam Barat yang sekular. Mirisnya lagi umat Muslim meyakini demokrasi sejalan dengan ajaran Islam. Walau terbukti hanya menyejahterakan para elit dan pengusaha, mirisnya demokrasi masih dipercaya mampu menyejahterakan rakyat banyak.
Fenomena yang tak terbantahkan, demokrasi telah terbukti hanya banyak melahirkan politisi busuk, parpol korup. Walaupun tak pernah terbukti menjadi jalan perubahan yang benar, tak pernah terbukti menjadi jalan penerapan Islam dalam bernegara. Lihatlah demokrasi seperti membius umat, mampu menyihir umat Islam sehingga masih ada yang percaya bahwa demokrasilah jalan satu-satunya tak ayal kinipun bermunculan partai-partai Islam yang katanya berjuang untuk Islam dan kepentingan umat.
Ya, Begitu hebatnya demokrasi merasuki setiap lini tubuh umat, sampai-sampai yang masih sering didengungkan, terutama dalam momentum Pilpres/Pemilu. Banyak kalangan umat yang berkicau, kalau ingin perubahan sebuah bangsa,buatlah partai atau masuklah ke dalam partai peserta pemilu, masuklah dalam politik. Duduklah kursi parlemen, daftarlah menjadi paslon walikota/bupati, gubernur hingga presiden.
Sementara kepada masyarakat awam dikatakan oleh mereka pecinta demokrasi, kalau ingin bangsa ini berubah, maka tak ada pilihan lain selain harus berpartisipasi dalam Pilpres/pemilu yaitu dengan mencoblos. Dengan itu akan terjadi perubahan yang diharapkan. Demikianlah candu demokrasi sampai saat ini menggelayuti hati dan pikiran umat, mirisnya umat belum juga tersadar.
Pertanyaannya adalah mungkinkah perubahan didapat dengan jalan demokrasi?
Hampir seluruh negeri kaum Muslim saat ini telah mengambil sistem demokrasi sebagai sistem perpolitikan negaranya guna meraih kekuasaan. Salah satu negeri Muslim yang mengadopsinya ialah Indonesia. Yang mesti dipahami adalah bagi seorang Muslim, pelaksanaan perubahan hakiki hanya dapat digapai dengan Islam. Maka arah perjuangannya adalah dengan perjuangan untuk menegakkan syariah Islam secara kaaffah, sebab itulah adalah kewajiban.
Pelaksanaan syariah Islam secara kaaffah juga akan mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Sejarah telah membuktikan, penerapan syariah Islam secara kaaffah dalam berenegara telah melahirkan peradaban gemilang selama ratusan abad lamanya. Namun kini tanpa sistem Islam menaungi umat, kondisi dunia penuh masalah yang tak pernah ada ujung pangkalnya berakhir.
Maka orientasi perjuangan umat Islam saat ini seharusnya dalam rangka mewujudkan kembali kehidupan Islam dengan penerapan syariah Islam secara kaaffah.
Namun menjadi pertanyaan, mungkinkah menjadikan demokrasi sebagai jalan perjuangan umat Islam untuk menerapkan syariah Islam secara kaaffah?
Telaah sistem demokrasi!
Mengutip apa yang disampaikan oleh Luthfi Afandi, SH. MH., direktur Pusat Kajian Islam Kaaffah, yang mengatakan bahwa, pertama, demokrasi memiliki bahaya ideologis. Pasalnya, sistem politik ini bukan berasal dari Islam, melainkan dari peradaban Barat sekular yang jelas bertentangan dengan akidah Islam. Salah satu prinsip penting demokrasi adalah “kedaulatan di tangan rakyat”.
Inti dari prinsip ini adalah memberi rakyat hak untuk membuat hukum dan perundangan. Prinsip ini jelas bertentangan dengan Islam. Menurut Islam, kedaulatan ada di tangan syariah. Yang memiliki kewenangan membuat hukum (Al-Hakim) di dalam Islam adalah Allah SWT. Bukan manusia. Manusia bukanlah pembuat hukum, tetapi pelaksana hukum Islam.
Di dalam sistem Demokrasi, standar benar dan salah atau baik dan buruk bukan menurut syariah Islam, tetapi menurut akal manusia dan menurut suara mayoritas di parlemen. Karena itu sistem demokrasi membuka peluang yang sangat besar bagi perkara yang menurut syariah Islam diharamkan menjadi diperbolehkan. Sebagai contoh: riba, khamr (minuman keras) dan perzinahan yang jelas haram, di dalam sistem demokrasi ternyata dilegalkan.
Sebaliknya, perkara yang menurut hukum Islam dibolehkan, bahkan diwajibkan, di dalam sistem demokrasi menjadi terlarang. Contohnya hukum rajam bagi pelaku perzinahan, atau hukum qishash bagi pelaku pembunuhan. Semua itu dalam Islam wajib diterapkan, tetapi di dalam sistem demokrasi menjadi terlarang. Inilah bahaya yang sangat serius dari sistem demokrasi.
Kedua, demokrasi menciptakan distorsi ideologi. Sikap yang hampir pasti akan menghinggapi para aktivis demokrasi adalah pragmatisme. Pragmatisme ini tidak bisa dihindari karena di dalam sistem demokrasi pasti terjadi kompromi, baik dengan partai politik sekular atau bahkan rezim zalim sekalipun. Karena itu idealisme para aktivis di dalam sistem demokrasi hanya akan menjadi cita-cita karena akan berbenturan dengan berbagai ide yang sering bertentangan dengan Islam.
Sebagai contoh, UU Pornografi (UU No 44/2008), dulu sebelum disahkan, diusulkan dengan nama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Semangatnya tentu menolak berbagai praktik pornografi dan pornoaksi di masyarakat. Ternyata, RUU itu mendapat berbagai penolakan dari politisi sekular. Setelah melalui perdebatan panjang di ruang publik dan Parlemen, akhirnya RUU tersebut disahkan dengan nama UU Pornografi, dengan menghilangkan kata Anti dan Pornoaksi, juga dengan substansi UU hasil kompromi berbagai pihak.
Ketiga, demokrasi hanya menawarkan sirkulasi elit di lingkaran kekuasaan, bukan perubahan sistem. Setiap sistem pasti memiliki mekanisme untuk mempertahankan dan mengokohkan sistemnya. Tak terkecuali sistem demokrasi. Mekanisme pertahanan dan pengokohan sistem demokrasi dibingkai dengan aturan main yang wajib disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat, dalam hal ini oleh elit dan partai politik.
Aturan main yang dianggap sakral dan fundamental sehingga tidak boleh diubah atau diganti oleh siapapun mereka labeli dengan istilah “harga mati”. Maka dari itu, siapapun yang terlibat dalam sistem demokrasi, tidak akan berani menyentuh apalagi mengubah perkara yang dianggap sebagai harga mati. Siapapun yang melanggar akan dikenakan sanksi.
Demokrasi juga memiliki mekanisme agar sistemnya berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Untuk itu, mereka membuat even sirkulasi elit di lingkaran kekuasaan yang dilakukan secara berkala. Even sirkulasi elit ini dikemas dengan nama Pemilu. Di Indonesia even Pemilu/Pilpres hanyalah mekanisme untuk mengganti elit, mulai dari anggota dewan, kepala daerah hingga presiden. Tidak lebih dari itu.
Karena itu sistem demokrasi memang sangat memungkinkan dijadikan jalan untuk menempatkan para aktifis dan tokoh Muslim menjadi pejabat di berbagai level. Namun, sistem demokrasi tidak memberikan ruang sedikitpun bagi penerapan syariah Islam secara total atau perubahan yang sifatnya fundamental.
Terakhir, bahwa demokrasi yang diagungkan itu hanyalah ilusi dan omong kosong.
Bukankah demokrasi itu pemerintahan rakyat, sehingga apapun keinginan rakyat, termasuk keinginan menerapkan syariah Islam, pasti bisa diwujudkan? Slogan yang hanya indah dalam statemen dan tulisan, tetapi hanya menjadi ilusi karena tidak pernah hadir dalam kenyataan. Di antara slogan palsu demokrasi adalah pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Slogan tersebut merupakan manifestasi dari intisari demokrasi, yakni kedaulatan rakyat.
Padahal dalam hal merumuskan undang-undang, realitanya tidak mungkin seluruh rakyat terlibat. Lazimnya, pengesahan suatu undang-undang (UU) merupakan hasil usulan dari Presiden atau anggota DPR yang kemudian dibahas dan disahkan di Parlemen. Artinya, yang memiliki peran dalam menyusun dan mengesahkan UU hanyalah segelintir orang yang mengklaim sebagai wakil rakyat.
Contoh terbaru saat pengesahan UU Ciptaker, adakah memihak pada rakyat?
Anggota dewan di Parlemen sejatinya bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai politik (parpol), karena mereka dicalonkan oleh parpol, kemudian rakyat “dipaksa” memilih calon yang ada. Proses pembuatan UU yang hanya melibatkan elit terbatas ini lumrah ditunggangi oleh berbagai kepentingan, terutama kepentingan para pemilik modal.
Jadi semacam simbiosis mutualisme. Elit politik membutuhkan modal (finansial), sementara pemilik modal memerlukan akses, perizinan dan konsesi. Jadi, statemen bahwa hukum dalam demokrasi pasti sesuai dengan kehendak rakyat adalah ilusi alias mitos yang sulit terealisasi dalam kenyataan. Faktanya, yang mengendalikan elit politik adalah kekuatan pemilik modal atau para kapitalis.
Demikianlah demokrasi tak bisa dijadikan jalan untuk mewujudkan perubahan. Sudah saatnya umat, gerakan dan partai politik Islam mengevaluasi orientasi dan arah perjuangannya. Dakwah yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam saat ini semestinya bukan lagi untuk menempatkan tokoh-tokoh Islam menjadi anggota dewan, kepala daerah ataupun presiden di dalam sistem demokrasi sekular.
Umat, gerakan dan partai politik Islam seharusnya fokus mendakwahkan syariah Islam agar dapat diterima oleh berbagai kalangan sehingga mereka mendukung penerapan syariah Islam secara kaffah untuk diterapkan dalam negara.
Dakwah inilah yang telah dicontohkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali pada Islam, menerima seluruh hukum aturan Islam dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan Islam kehidupan akan sejahtera, berkeadilan dan tentunya akan mengulang masa kegemilangan Islam. Tidakkah kita menginginkannya?
Wallahu a’lam bis showab***
Dosen dan Pemerhati Sosial Politik
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.