Rabu, 1 Mei 2024

Ketika Korban Menjadi Tersangka, Ada Apa Kiranya

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Putri Az Zahra

Oleh : Putri Az Zahra

SUDAH jatuh tertimpa tangga, inilah yang dialami oleh Muhammad Hasya Athalla Saputra. Seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang menjadi korban kecelakaan yang melibatkan Purnawirawan Polri.

Dalam kecelakaan tersebut, diketahui Muhammad Hasya Athalla Saputra meninggal dunia. Namun anehnya malah dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian. Dan kasus dihentikan karena tersangka telah meninggal dunia.

Hal inilah yang menjadikan ayah dan ibu Hasya harus berjuang mencari keadilan untuk anaknya. Betapa sedihnya hati mereka ketika mengetahui putranya meninggal dunia dan bertambah perih tatkala mengetahui putranya yang telah meninggal malah dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian karena dianggap lalai dalam berkendara.

Menurut BEM UI Melki Sedek Huang merasa tindakan kepolisian ini seperti ulah sambo dalam kasus kematian Brigadir J, bagi kami fenomena ini seperti sambo jilid 2. Kepolisian lagi-lagi hobi memutarbalikkan fakta dan menggunakan proses hukum untuk jadi tameng kejahatan, ujarnya dalam siaran pers kepada wartawan di Jakarta (Sabtu, 28/1/2023).

Dilansir dari Republika.co.id, menurut pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto prof. Hibnu Nugroho menilai aneh penetapan tersangka terhadap Hasya dan kasus distop oleh penyidik dengan alasan tersangka telah meninggal dunia. Jika melihat suatu permasalahan hukum itu dari sudut sebab akibat kalau tersangka untuk dirinya sendiri itu agak aneh, karena tersangka itu berarti orang lain, ujarnya di Purwokerto (Jumat, 27/1/2023).

Senada dengan itu anggota komisi III yang membidangi hukum, Asrul Sani mengkritik kepolisian sebab menersangkakan orang yang telah meninggal dunia.

Asrul Sani menganggap bahwa kepolisian telah salah memaknai pasal 77 KUHP yang berbunyi kewenangan menuntut pidana akan hapus jika tertuduh meninggal dunia.

Fenomena hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas memang sudah hal biasa terjadi pada negara-negara yang menganut sistem sekuler kapitalis, karena asas yang dipakai adalah kemanfaatan berupa materi.

Mereka yang memiliki kedudukan dan finansial yang banyak akan kebal hukum dan dibebaskan. Sedangkan rakyat biasa yang tidak memiliki kemampuan apapun akan dijadikan tersangka atau ditindak tegas tanpa ampun oleh pihak yang berwajib.

Inilah fenomena yang terjadi ketika hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan manusia berasal dari manusia itu sendiri. Maka akan ada ketidakadilan dan kemanusiaan dalam berbagai aspek termasuk aspek hukum karena yang berlaku adalah asas manfaat.

Jauh berbeda penyelesaiannya dalam syariat Islam karena semua manusia pada hakikatnya memiliki kedudukan yang sama, kecuali yang membedakannya adalah ketakwaannya.

Sebagaimana Allah berfirman dalam Alquran surah Al Hujurat ayat 13

……sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa……

Dalam syariat islam baik muslim maupun non muslim, laki-laki ataupun perempuan, tidak ada diskriminatif atau kekebalan hukum. Karena siapapun yang melakukan tindakan kriminal atau kejahatan jarimah akan mendapatkan hukum sesuai dengan jenis pelanggaran yang diperbuatnya.

Dalam sejarah kepemimpinan Daulah Islam telah terbukti mampu menekan angka kejahatan. Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab misalnya angka kejahatan sangat kecil kurang lebih hanya dua ratus kasus pertahun. Hal itu karena Khalifah memberlakukan hukum-hukum islam didalam penyelesaian problematika kehidupan manusia.

Sementara pada kasus Hasya jika dihukum dengan menggunakan hukum Islam maka pasti akan mendapatkan keadilan, baik untuk keluarga korban maupun pelakunya. Karena dalam kasus Hasya termasuk ke dalam tindakan pembunuhan yang tidak disengaja.

Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya Nidzomul Ukhubat halaman 100 menjelaskan, bahwa pembunuhan yang tidak disengaja yaitu ketika pelaku melakukan tindakan yang ia sendiri tidak bermaksud untuk menimpakan perbuatan itu kepada pihak yang terbunuh, namun menimpa kepada orang tersebut dan meninggal dunia.

Maka dalam syariat Islam sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah membayar diyat berupa 100 ekor unta dan membayar kafarat dengan memerdekakan seorang budak. Dan apabila tidak dijumpai budak maka dia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut.

Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat An Nisa ayat 92

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن يَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا إِلَّا خَطَئًا ۚ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَئًا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤۡمِنَةٍ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْ ۚ فَإِن كَانَ مِن قَوۡمٍ عَدُوٍّ لَّكُمۡ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤۡمِنَةٍ ۖ وَإِن كَانَ مِن قَوۡمِۢ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُم مِّيثَٰقٞ فَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ وَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤۡمِنَةٍ ۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ تَوۡبَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah, (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak mendapatkan (hamba sahaya) maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”

Wallahu a’lam bisshowab

 

Aktivis Muslimah Peduli Negeri
Pegiat Literasi Kota Dumai, Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *