Oleh : Nora Afrilia, S. Pd
Sekitar 2 tahun lagi, akan berlangsung pemilihan presiden di Indonesia. Sama dengan tahun-tahun sebelumnya euforia Pilpres 2024 sudah mulai berlangsung. Kita sudah bisa melihat sosok pemimpin saat ini yang merupakan hasil dari proses pemilihan tahun sebelumnya.
Dan, sebagai orang cerdas ada baiknya masyarakat seluruhnya bercermin dengan yang telah terjadi. Supaya tidak terpuruk pada situasi yang sama seperti saat ini. Hal tersebut ibarat peribahasa hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama.
Suasana sebelum Pilpres biasanya ditandai dengan adanya pengujian elektabilitas calon dari beberapa partai. Pengujian yang diukur dari publik. Dan berdasarkan pujian tersebut didapati beberapa informasi di tahun 2022 ini.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, pada Senin (13/6/2022) menyatakan, beberapa tokoh yang diuji sebagai bakal calon presiden, Ganjar Pranowo menjadi nama yang paling tinggi mendapatkan elektabilitas dari publik.
Kemudian, Prabowo 23,4 persen, Anies 20 persen, Ridwan Kamil 4,6 persen, Sandiaga Uno 3,6 persen. Lalu ada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) 3,3 persen, Khofifah Indar Parawansa 2,9 persen. Erick Thohir mendapat suara 2 persen, Puan Maharani 1,8 persen dan Airlangga Hartarto 1,2 persen.
Hasil survei Charta Politika terkini menunjukkan bahwa Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berada pada posisi teratas elektabilitas tokoh yang digadang sebagai calon presiden (capres).
Jika masyarakat memilih tiga nama di antara Anies Baswedan, Ganjar dan Prabowo Subianto, maka mereka mayoritas yaitu 36,5 persen memilih Ganjar sebagai presiden.
Survei dilakukan pada 25 Mei hingga 2 Juni 2022 melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 1.200 responden yang tersebar di 34 provinsi. Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat atau multistage random sampling dengan margin of eror lebih kurang 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.(kompas.com, 14/06/2022)
Ketika kita fokuskan ke arah Ganjar Pranowo, jalannya juga tidaklah mulus. Beberapa kali ia dikritik rekan separtainya.Trimedya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam keterangan tertulis menyebutkan, Ganjar apa kinerjanya delapan tahun jadi gubernur selain main di medsos, apa kinerjanya?
Trimedya juga menyebut track record Ganjar di DPR kemudian sebagai gubernur belum menyelesaikan Wadas, rob, jalan yang belum terbangun, kemudian sekarang diramaikan kemiskinan di Jateng (Jawa Tengah) malah naik. Hingga berujung menyebut Ganjar dengan sebutan kemlinthi oleh Trimedya, sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang artinya congkak, sombong, angkuh.(nasional.kompas.com, 13/06/2022)
Tak berhenti di sini, sebelumnya, Ketua DPR yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P, Puan Maharani, menyebut seseorang dengan istilah ganteng tapi tak bisa bekerja. Pernyataan ini disampaikan saat kunjungannya ke Dewan Pimpian Cabang (DPC) PDI-P Wonogiri, Jawa Tengah, pada April lalu.
Dan pada akhirnya, PDI Perjuangan sebagai partai yang menaungi Ganjar belum juga memberikan sinyal restu untuk naik mengikuti pilpres. Ganjar pun beberapa kali tak diundang di acara internal partainya, misalnya di HUT PDI-P ke-48, Mei 2021 lalu. Dan rivalitas Ganjar dengan Puan semakin terlihat dengan adanya dukungan beberapa kader partai PDI-P terhadap Puan karena track record Puan yang dinilai para kader lebih baik dibandingkan Ganjar.
Survei dan Perselisihan Kader Partai Membuang Waktu
Dari gambaran kenyataan di atas dapat kita amati, bahwa sebenarnya membangun negeri ini bukan diperlukan debat, sikut-menyikut, dorong-mendorong dari partai yang akan memberikan calonnya.
Namun harusnya ada saling nasihat- menasihati ketika ada kekurangan. Hal tersebut akan menghasilkan kesimpulan untuk memberikan capres yang memang dikehendaki rakyat.
Namun, ketika sistem demokrasi ini masih menjadi sandaran negeri, maka sekeras apapun partai menghasilkan kader yang merakyat ataupun cerdas dalam usaha memberikan yang terbaik untuk rakyat. Tetaplah yang akan menentukan pemimpin negeri ini yakni Presiden adalah suara dari para pengusaha. Hanya diawal saja partai besar dapat menyodorkan kadernya.
Ketika selesai diseleksi 2 kandidat presiden, maka dari sini akan mulai lapangan pengusaha menyeleksi calon yang bisa memuluskan keberlangsungan bisnis mereka.
Dalam aturan Demokrasi sekuler saat ini, politikus butuh pengusaha untuk berkuasa, atau lebih tepatnya uang milik pengusaha. Hal ini misalnya dikemukakan oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam buku Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and The State in Indonesia (2019).
Praktik semacam ini dikenal dengan nama klientelisme. Untuk membeli suara, politikus tidak selalu mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri. Dari sinilah relasi dengan pengusaha dibangun. Relasi timbal balik ini yang kemudian menghasilkan hubungan patron-klien dan membuat pengusaha berpeluang menentukan kebijakan atau memengaruhi keputusan penguasa.
Edward Aspinall dan Ward Berenschot menambahkan, di semua tingkatan partai politik dibayang-bayangi oleh utang budi. Politisi yang berkuasa sering kali harus memberikan proyek, uang, atau semacamnya kepada pemilih dan komunitasnya. Mereka mendapat uang untuk itu dari hasil menukar kontrak kerja, pemberian lisensi, atau hasil bisnis lain dengan pengusaha. Tidak lupa, politisi ini juga berebut dengan birokrat lain untuk menguasai kekayaan negara agar bisa ditukar menjadi keuntungan politik mereka.
Ketika praktik-praktik klientelistik seperti menukarkan uang dan barang adalah kunci kesuksesan politik, politisi kaya dan sekutu bisnis mereka punya keuntungan alami.
Senada dengan Edward dan Ward, dosen dari FISIP Universitas Udayana Muhammad Ali Azhar mengungkapkan, dalam penelitian berjudul Relasi Pengusaha-Penguasa Dalam Demokrasi: Fenomena Rent-Seeker Pengusaha jadi Penguasa, bahwa pengusaha adalah pemburu rente dari hasil selingkuh kepentingan dengan penguasa. (tirto.id, 14/03/2022)
Maka, tidak heran jika partai kemudian juga bermental pengusaha. Calon yang maju ke pemilu ditimbang berdasar kedekatan atau apa materi yang bisa dia berikan ke partai. Akan lebih mudah jika calon yang maju punya sumber keuangan yang cukup. Untuk menjadi kepala daerah, calon harus menyiapkan sampai dengan belasan bahkan puluhan miliar rupiah. Sekali lagi, uang-uang ini sangat mungkin didapat dari pengusaha yang kemudian memungkinkan praktik balas budi di kemudian hari.
Besarnya komposisi sumbangan pengusaha dapat dipandang sebagai besarnya kepentingan bisnis dalam memengaruhi kebijakan parpol. Transaksi ini terjadi biasa pada saat proses untuk mencapai kekuasaan lewat pemilu dan berlanjut ketika kekuasaan didapat dan diimplementasikan. Hal ini berdampak pada otoritas penguasa parpol dalam mengimplementasikan kebijakan yang mudah dipengaruhi kepentingan pengusaha sebagai pamrih dukungan saat pemilu.
Pada Pilpres 2019, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat setidaknya ada 17 pengusaha tambang di balik calon presiden yang berkompetisi, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Enam pengusaha tercatat berada di belakang Prabowo, sedangkan sisanya berkumpul di kubu Jokowi.
Beberapa pengusaha yang mendukung Jokowi saat itu adalah Hary Tanoe, Bahlil Lahadalia, dan Erick Thohir. Ketika Jokowi menang, Angela, anak Hary Tanoe, kemudian mendapatkan jabatan sebagai staf khusus milenial; Erick menempati jabatan Menteri BUMN; dan Bahlil menjadi Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Alhasil, pada era Jokowi pula aturan soal UU Cipta Kerja omnibus law, yang sangat disukai pengusaha, berhasil disahkan. Aturan ini berulang kali ditentang oleh publik dan dinyatakan inkonstitusional, tetapi pemerintah dan legislatif bergeming dan tetap mengesahkannya secara terburu-buru.
Maka, sejatinya survei elektabilitas capres dan penunjukkan capres oleh partai pengusungnya, hanyalah permainan belaka yang ditunjukkan di hadapan rakyat. Seolah proses pemilihan pemimpin negeri berjalan alami dan seolah melibatkan rakyat.
Saatnya Sistem Islam Memimpin Negeri
Kalau kita pelajari lebih mendalam dan cemerlang, maka akan kita temui bahwa Islam terdiri atas konsep aqidah dan syari’at. Maka sejatinya konsep akan ada aktualisasi agar bisa menyelesaikan problem kehidupan. Karena Allah meminta kita seperti itu sebagai konsekuensi sudah meyakini Islam.
Maka, kita akan mewujudkan penerapan aqidah dan syari’at tersebut dalam kehidupan kita. Selain itu, Rasulullah sebagai teladan kita juga menyampaikan demikian.
Termasuk dalam hal menunjukkan pemimpin untuk sebuah negeri. Apakah pemimpin negara maupun pemimpin di daerah. Dilakukan dalam koridor aturan syari’at agar Allah ridho terhadap muslim tersebut. Dan keridhoan tentu mendatangkan pahala di akhirat dan keberkahan di dunia.
Islam mensyaratkan ketika memilih pemimpin negara (khalifah) misalnya, memiliki tujuh syarat. Antara lain dia muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu mengemban amanah kekhilafahan. Semuanya itu syarat sah menjadi pemimpin negara. Lalu dilanjutkan dengan pembatasan calon yang akan dipilih, dan terakhir sumpah setia (baiat oleh penduduk di negara tersebut), maupun muslim lainnya. (Struktur Daulah Islamiyah, tahun 2005, hal 39)
Modal utamanya hanya tujuh hal tersebut. Dan tidak perlu syarat tambahan seperti modal besar maupun jaringan pengusaha. Karena syari’at menyederhanakan proses pemilihan tersebut agar berlangsung dengan efisiensi yang baik. Tidak butuh akan kampanye yang berlebihan oleh calon karena memang secara nyata calon tersebut sering menampilkan kinerjanya dalam mengabdikan diri untuk masyarakat.
Alamiahnya calon yang akan menjadi pemimpin negara diambil dari struktur negara yang di bawahnya. Misalnya, muawin, wali, atau departemen lainnya. Selain itu efisiensi juga terlihat dari pelaksaan waktu pemilu yang singkat dan sarana yang urgen saja yang diadakan di tempat pemilihan.
Alhasil, maka tidak berpeluang pengusaha ikut campur menggelontorkan modal untuk penguasa agar menjabat. Karena kampanye secara tidak langsung sudah dilakukan selama menjabat. Apakah calon tersebut akan disenangi rakyat atau tidak, sudah terbaca ketika si calon sedang menjabat. Yang pada akhirnya pengusaha juga tidak akan bisa mendikte jalannya pemerintahan sesuai keinginan pengusaha.
Wallahu’alam.***
Penulis seorang aktivis muslimah berdomisili di Kampar