Senin, 25 November 2024

Firli Bahuri Sesumbar Akan Hukum Mati Koruptor, Febri Diansyah: Hanya Gagah-gagahan Pejabat

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Mantan Jubir KPK Febri Diansyah sindir Ketua KPK Firli Bahuri yang akan menhukum mati koruptor bansos.

Jakarta (Riaunews.com) – Vonis 12 tahun bagi mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara terkait kasus korupsi bantuan sosial atau bansos COVID-19 dinilai masih kurang. Juliari seharusnya bisa dihukum lebih tinggi karena merujuk Undang-Undang itu bisa sampai dengan vonis seumur hidup.

Demikian disampaikan pegiat anti korupsi sekaligus eks juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah. Menurut dia, harapan vonis Juliari lebih berat karena dikaitkan dengan situasi saat ini yaitu lantaran pandemi COVID-19 dengan imbas rakyat kecil menjadi korban.

Bahkan, dia menyinggung Ketua KPK Firli Bahuri yang pernah melontarkan ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi anggaran bencana.

“Harapannya harusnya lebih tinggi. Kalau di Undang-Undang kan itu sampai dengan seumur hidup. Ketua KPK bahkan juga pernah bilang ada ancaman hukuman mati meskipun pasal yang digunakan berbeda,” ujar Febri dikutip VIVA dari tvOne, Rabu (25/8/2021).

Pun, ia menekankan yang harus jadi perhatian terkait kasus ini yakni korban korupsi bansos COVID-19. Maka itu, ia menilai jika ada langkah KPK untuk banding atau kasasi, pertimbangan banyak korban korupsi bansos harus jadi perhatian secara serius.

“Jadi, ketika publik misalnya sangat marah bahkan katakanlah rasa keadilan publik terusik karena kasus keadilan bansos seharusnya itu bukan menjadi faktor yang meringankan. Tapi, menjadi faktor yang memberatkan,” tutur Febri.

Kemudian, ia menyampaikan pengadilan juga bisa menggali rasa keadilan publik. Sebab, ia mengingatkan lagi bahwa korupsi bansos memiliki korban yang banyak.

Namun, ia menyindir antara ancaman hukuman mati yang pernah disampaikan Firli dengan kenyataan dakwaan jaksa KPK terhadap Juliari berbeda.

“Dalam konteks sekarang, saya melihatnya lebih pada tidak konsistennya pada pejabat publik termasuk penegak hukum yang seolah di satu sisi bilang gagah-gagahan bicara hukuman mati, tapi di sisi lain pasal yang digunakan berbeda,” tutur Febri.

Menurutnya, hukuman maksimal yang bisa diterapkan itu seumur hidup dan semua pelaku bisa diproses.

“Bagi kami cenderung hukuman maksimal itu seumur hidup tapi semua pelaku itu bisa diproses karena pasal 12 ini kan tidak ada hukuman mati. Pasal 2 yang ada hukuman mati. Jadi, pelaku diproses semuanya,” lanjutnya.

“Dan, dibongkar setuntas-tuntasnya. Dan, penyidik bansos ini juga jangan di singkirkan karena mereka yang membongkar kasus ini dan mereka yang paham konstruksinya,” kata Febri.

Terkait kasus ini, Juliari didakwa jaksa penuntut umum KPK menerima suap sebesar Rp32,4 miliar dari pengusaha yang memenangi proyek pengadaan bansos COVID-19. Juliari didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Adapun Ketua KPK Firli Bahuri penah disorot karena ucapannya yang membuat heboh bahwa pejabat yang melakukan korupsi anggaran penanganan bencana seperti penanganan COVID-19, bisa terancam hukuman mati. Bagi Firli, penyelamatan jiwa manusia di tengah pandemi COVID-19 harus jadi perhatian KPK.

“Ingat, ancaman hukuman mati koruptor anggaran bencana dan proses pengadaan darurat bencana,” ujar Firli dalam keterangannya, Jumat, 27 Maret 2020.

Ucapan Firli kembali mencuat yang menyinggung hukuman mati pada Desember 2020. Saat itu, KPK pada Minggu, 6 Desember 2020, menangkap Juliari Batubara.

Firli saat konperensi pers secara virtual kemudian menyinggung Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mengatur vonis hukuman mati bagi pelaku terkait kondisi tertentu.

“Kita paham pandemi COVID-19 ini dinyatakan pemerintah sebagai bencana nonalam. Sehingga kami tidak berhenti sampai di sini. Tentu kami akan bekerja berdasarkan saksi dan bukti-bukti apakah bisa masuk Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tersebut,” kata Firli, Minggu, 6 Desember 2020.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *