Jakarta (Riaunews.com) – Cepatnya aparat menghapus coretan di dinding baik mural hingga grafiti bernada kritik baik sosial maupun terhadap pemerintah mungkin bukan masalah bagi para aktivis seni jalanan. Namun, persoalan yang terjadi setidaknya satu bulan terakhir di mana aparat pun memburu pembuat mural dinilai menjadi persoalan baru.
Itulah yang diungkapkan salah satu muralis dengan nama alias Anagard dari Yogyakarta.
Pengamat dan pelaku seni jalanan, Anagard menilai penghapusan terhadap karya seni seperti mural ataupun grafiti merupakan hal yang biasa. Hanya saja menjadi berbeda ketika aparat pemerintah bersikap terlampau reaktif dengan langsung menghapus mural yang mengkritik pemerintah serta memburu pembuatnya.
“Yang tidak biasa itu ketika aparat terlalu bersikap reaktif dengan langsung menghapus hingga mencari pembuatnya,” jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (27/8/2021).
Salah satu contohnya seperti penghapusan mural dengan tulisan “Dibungkam” dan “Stop” yang di buat Anagard bersama Yogya Street Art Forum di Jembatan Kewek, Yogyakarta. Mural tersebut diketahui langsung dihapus oleh petugas pada keesokan harinya, Ahad (22/8/2021) Siang.
Kemudian, pembuatan mural ‘404 Not Found’ dengan muka diduga mirip Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Tangerang dan pria bermasker di mata yang juga mirip sang kepala negara di Bandung. Polisi disebutkan hendak mencari para pembuat mural tersebut.
Sikap aparat yang terus merepresi seni mural di sudut-sudut kota dinilai tidak akan membuat para seniman kapok. Anagard mengatakan semakin aparat bersikap reaktif maka hanya akan semakin banyak mural-mural baru di lapangan.
Dia menerangkan mural sendiri selama ini kerap menjadi salah satu medium untuk penyampaian pendapat atau bentuk kebebasan berekspresi dari para seniman kepada pemerintah.
Oleh karena itu, ia menilai sikap aparat tersebut tak ubahnya sebagai pembungkaman serta merampas hak masyarakat untuk berpendapat dan bersuara.
Apalagi, kata Anagard, dalih merusak pemandangan ataupun mengganggu ketertiban umum yang kerap digunakan aparat tidak berlaku pada baliho-baliho politik yang juga bermunculan di sudut-sudut jalanan.
“Kalau dengan alasan mengganggu, kurang mengganggu apa coba baliho-baliho itu. Kalau alasannya mengganggu ketertiban umum, selama tidak ada muatan SARA saya kira tidak seharusnya dihapus,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai, alih-alih akan menyurutkan gerakan perlawanan sikap aparat yang kelewat reaktif tersebut hanya akan mendorong para seniman jalanan lainnya untuk turut bersuara. Baik di tempat-tempat yang sama atau lokasi-lokasi yang berbeda.
“Karena kami sayang pemerintah dan kami menolak pengontrolan suara kritis, makanya kami tegur penguasa dengan berkarya,” pungkasnya.
Masih dari Yogyakarta, aktivis seni dengan nama alias Setu Legi berpendapat sikap aparat yang terlalu reaktif menandakan pemerintah sampai saat ini masih belum belajar mendengarkan kritik dari masyrakat.
Padahal ia menilai, pesan-pesan yang terdapat dalam mural tersebut tak ubahnya ungkapan seorang anak terhadap orang tuanya.
“Yang biasanya ungkapan anak-anak itu jujur apa adanya. Tapi, memang kebanyakan jenis orangtua yang otoriter dan konservatif reaksi yang keluarkan selalu mau menang sendiri,” ujar Setu pada momen terpisah.
Setu yang juga beraktivitas dengan Taring Padi–organisasi seni yang mengangkat isu kerakyatan dan perubahan sejak 1998–menilai kondisi yang terjadi beberapa waktu terakhir seakan melampaui masa awal reformasi ketika kelompoknya berdiri pertama kali.
Kala kelompoknya baru berdiri, kata dia, pemerintah tidak pernah mengusik bentuk kritik yang disampaikan melalui seni publik meskipun sifatnya bisa diakses bebas semua orang. Kendati demikian, menurutnya hal ini juga mungkin disebabkan oleh seni mural yang pada waktu itu masih belum terlalu populer di masyarakat.
“Pemerintah Indonesia pada waktu itu sepertinya enggak ada waktu untuk ngurusi semacam public art, bahkan yang politis sekalipun,” ujarnya.
Ia menilai pendekatan aparat saat ini seperti menunjukkan bahwa pemerintah seakan tidak pernah ingin mengetahui permasalahan apa yang sedang dirasakan rakyatnya sendiri. Melalui pendekatan represi juga, ia menilai pemerintah hanya akan semakin memperpanjang ‘perlawanan’ dari rakyat.
Kondisi tersebut pun, kata Setu, pada akhirnya akan berdampak buruk pada iklim demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah.
“Justru dengan cara menekan akan selalu memunculkan perlawanan yang semakin kuat dan berlipat. Apapun bentuknya, hanya persoalan waktu aja bagaimana rakyat bisa membalas dengan sekuat-kuatnya dan sekreatif mungkin,” tuturnya.***
Sumber: CNN Indonesia