Selasa, 26 November 2024

Kisah Seorang Lelaki dalam Keheningan

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
(ilustrasi)

Oleh Helfizon Assyafei

Pernahkah kau dengar kisah ini? Seorang lelaki yang berjalan kaki di tengah gelap malam. Juga di tengah teriknya siang. Dengan jarak tempuh 3 jam berjalan kaki dari rumahnya ke masjid Nabawi di Madinah untuk mengikuti sholat berjamaah. Setiap hari dan berbilang tahun dilakukannya.

Hingga suatu pagi yang syahdu Nabi tak mendapatinya di barisan depan sholat berjamaah. Lalu Nabi bertanya dimanakah dia? Nabi sampai menunda sholat subuh untuk menunggunya.

Begitu penghormatan Nabi padanya. Tapi lelaki itu tak kunjung datang. Dan sejak itu takkan pernah datang lagi selamanya. Usai sholat subuh Nabi bersama sahabat menyusuri jalan yang ditempuhnya. Tiga jam baru sampai ke rumah lelaki itu.

Didapati Nabi lelaki berwajah teduh itu terbaring dalam hening dan damai di pembaringannya. Isak tangis istri dan anaknya terdengar. Ia telah pergi selamanya. Nabi terharu melihatnya. Terlebih setelah mendengar kisahnya menjelang ajal. Lelaki itu sempat bergumam; “..mengapa tidak lebih jauh lagi..mengapa tidak yang baru..mengapa tidak semuanya..”

Kata Nabi lelaki itu ternyata melihat balasan pahala sholat berjamaahnya itu. Semakin jauh jalan menuju masjid ternyata semakin besar balasannya. Itulah makna gumamnya; ..mengapa tak lebih jauh lagi…

Dalam perjalanannya ke masjid ia pernah membantu seorang yang kedinginan di tengah jalan di malam hari. Ia punya dua jaket. Lalu ia berikan satu jaketnya yang lama.

Ketika ia melihat balasannya ia bergumam; ..mengapa tidak (kuberikan) yang baru…

Begitu juga saat mendapati seorang yang kelaparan di tengah perjalanannya. Ia punya sepotong roti. Lalu ia bagi dua. Satu untuk orang itu dan satunya lagi untuknya. Melihat balasannya ia bergumam..mengapa tidak (kuberikan) semuanya…

***

Kami semua jamaah Jumat di Masjid Sultan Syarif Hasyim Siak ketika itu terdiam mendengar kisah yang dituturkan khatib.

Perasaan saya campur aduk. Haru, sedih dan juga malu. Belum ada seujung kuku saya dibandingkannya. Malu karena terkadang menggunakan gelar hamba Allah dengan mudahnya hanya dengan infak yang tak seberapa.

Hujan sedikit tak ke masjid. Terik sedikit enggan ke masjid. Jauh hotel dari masjid berat nak melangkah ke sana. Ah..malu rasanya. Jangankan di hadapan Nabi kelak di hari berbangkit. Di hadapan lelaki itu saja tak kuasa rasanya mengangkat muka ini.

Lelaki istiqomah yang wafat dalam keheningan itu bernama Syakban. Ia adalah contoh ketataan yang tulus dari hati terdalam. Membuktikan cinta bukan hanya kata tapi perbuatan. Sebuah kisah indah tak terlupakan.

Terimakasih tuan khatib.***

 

Penulis seorang jurnalis senior Riau

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *