Oleh Ina Ariani ( Aktivis Muslimah Pekanbaru )
Ada beberapa Bekas napi koruptor yang mencalonkan diri sebagai bakal calon legeslatif (bacaleg). Dulu sempat ada larangan dari KPU, namun kemudian pada tahun 2018 MA membatalkan dengan alasan HAM. Sebagaimana dilansir dari VOA, Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023.
Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik.
Sementara warganet ramai-ramai merespon kabar soal diperbolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Mereka mempertanyakan guna SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian), Diketahui dalam UU No. 7 tahun 2017 pasal 240 Ayat 1 huruf g. Tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD.
Biasanya kan, “Salah satu syarat melamar pekerjaan/ dan yang akan menjadi pejabat negara kan harus bikin SKCK ya. Lha kalau koruptor/ yang pernah bermasalah dengan hukum kok bisa lolos ya. Apa SKCK cuma buat formalitas aja dan /buat nambah pemasukan Kepolisian ?” tulis @Minnie_imut. (CNN.Indonesia)
Kenapa hal demikian bisa terjadi? Mengapa mantan narapidana bisa mencalonkan diri sebagai calek? Apakah tidak ada lagi orang-orang baik yang bisa menjalankan amanah di negeri ini?
Kebolehan ini di satu sisi seolah menunjukkan tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah. Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Sementara orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri, Inilah realita demokrasi.
Diduga beberapa calek non eks narapidana berebut kursi. Sebab parpol masih menggelar karpet merah buat mereka bacalek mantan narapidana. Ini menandakan adanya peluang besar bagi mereka. Bukan semata-mata menjadi wakil rayat, mewakili aspirasi rakyat. Namun ada udang dibalik pencalonan di parpol tersebut.
Memang unik melihat sistem dinegeri ini. Susah payahnya penerapan, hingga pemilih diminta cerdas tapi tak pernah dicerdaskan dengan politik. Rakyat kerap kali dibungkam ketika bersuara kritis. Politik menjadi mainan segelintir elit yang merongrong kehidupan bernegara dan berbangsa.
Bebasnya eks narapidana mencalonkan diri tentu memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali, mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera, hukum bisa dibeli, dan lain-lain.
Jika eks koruptor menyalonkan jadi senator, tidak berlebihan rasanya apabila kita katakan bahwa demokrasi Indonesia kotor. Rakyat disuguhkan dengan calon anggota legislatif (caleg) yang namanya pernah tercoreng. Korupsi masih dianggap sebagai ‘dosa besar’ dalam bernegara.
Pasalnya, dana yang diembat untuk peruntukan rakyat digarong dan tanpa malu. Rakyat yang seharusnya diurusi kehidupannya dibuat pilu. Lagi-lagi rakyat menjadi korban dari politik yang melanggengkan kekotoran.
Islam mensyaratkan wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar amanah menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat.
Ada empat kriteria, pertama; najdat atau memiliki cukup kekuatan dan berwibawa, kedua; kifayah atau mampu menyelesaikan segala persoalan, ketiga; wara’ atau sikap hidupnya apik, keempat; berilmu yang bermakna memiliki ilmu pengetahuan. Hadist Rasulullah menjelaskan agar kita berhati-hati dalam perkara memilih pemimpin tidak boleh memilih orang-orang yang lemah, Rasulullah SAW bersabda;
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Artinya: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan tugas dengan baik.” (HR Muslim).
Sistem hukum dalam Islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat. Apalagi dalam Islam sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus ). Jadi tidak ada lagi para koruptor dinegeri ini apabila sistem Islam ditegakkan dibawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu A’lam Bishshawab***