Minggu, 3 November 2024

Ini Kata Pakar Pendidikan Soal Guru Enggan Menegur Siswa Karena Takut Dipenjara

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Tangkapan layar video sindiran guru yang tak lagi berani menegur siswanya yang nakal karena takut di penjara.

Pekanbaru (Riaunews.com) – Buntut dari seorang guru honorer Supriyani di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yang sempat meringkuk di ruang tahanan polisi karena di duga menghukum anak muridnya, membuat guru-guru saat ini menjadi enggan menegur murid yang nakal.

Saat ini media sosial dihebohkan dengan video yang memperlihatkan seorang guru enggan menegur siswa di sekolah meski siswa tersebut berbuat salah, diunggah ke media sosial X oleh Miss Tweet lewat akun @Heraloebss, pada Selasa (29/10/2024).

Baca Juga: Fakta Baru Kasus Guru Supriyani: Ternyata Korban Bukan Muridnya

Video itu merupakan sebuah konten sindiran, kritik atau sarkasme lantaran maraknya berita guru dilaporkan ke kepolisian karena menegur murid.

Dilansir kumparan, pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) Holy Ichda Wahyuni menanggapi kasus guru yang dilaporkan ke polisi setelah menegur siswa.

Holy menyebut, video parodi tersebut merupakan reaksi keresahan dan bentuk dilematisnya guru-guru. Holy sangat memahami kegelisahan tersebut, di satu sisi mereka berupaya menjalankan peran mendidik, namun di sisi lain mereka khawatir apa yang mereka lakukan menjadi boomerang dan menyeret mereka pada ranah hukum.

“Jika kegelisahan ini terus terjadi maka ini sangat ironi, bahwa cita-cita dalam mewujudkan pendidikan karakter, saya rasa akan menjadi utopia belaka,” tegas Holy, dalam keterangannya seperti dikutip Basra, Kamis (31/10/2024).

Di sisi lain, memang menjadi perkara yang pelik ketika berbicara tentang hak perlindungan anak. Sebagai pemerhati anak, Holy tidak pernah membenarkan tindakan kekerasan pada anak dengan alasan apa pun.

Menurutnya, jika sudah seperti ini, ada hal penting yang perlu diupayakan untuk menengahi, yakni perlu adanya penyamaan persepsi. Penyamaan persepsi bahwa persoalan pendidikan karakter ini bukan hanya tanggung jawab guru semata, tetapi juga semua elemen, baik itu komite, kepala sekolah, dan tentu saja orang tua.

Baca Juga: Permintaan Rp50 Juta untuk Kapolsek Agar Kasus Dihentikan, Kuasa Hukum Guru Supriyani: Kami Punya Bukti Rekamannya

“Penyamaan persepsi ini akan memiliki dampak pada proses pendewasaan masing-masing unsur stakeholder,” katanya.

Ia menjelaskan, guru akan memiliki kedewasaan untuk memilih pendekatan yang lebih pas dalam proses pendisiplinan siswa. Tidak melulu dengan punishment, tetapi ada pendekatan-pendekatan yang sifatnya lebih restorative.

Demikian halnya dengan orang tua, jika telah mencapai persepsi yang sefrekuensi, orang tua tidak akan serta merta bertindak reaksioner dalam menyikapi proses pendisiplinan siswa oleh guru mereka. Harmonisasi ini seharusnya dapat terwujud.

“Tidak ada yang bersikap paling arogan, karena sebenarnya kedua belah pihak menginginkan tujuan yang sama, yakni bagaimana membentuk pribadi anak dengan karakter yang positif,” tegasnya.

Dalam konteks ini ada sebuah teori yang bisa mendasari, yakni teori kognitif sosial dari Bandura yang mana ditekankan pada proses pembentukan karakter atau behaviour anak yang sangat bergantung pada social culture, yaitu kultur yang terbangun di masyarakat, bukan hanya sekolah.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *