Oleh: Ina Ariani
Duka CIANJUR, dilansir dari KOMPAS.com – Ratusan infrastruktur dan fasilitas publik terdampak gempa magnitudo 5,6 yang melanda Cianjur, Jawa Barat.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 526 infastruktur rusak, yakni 363 bangunan sekolah, 144 tempat ibadah, 16 gedung perkantoran, dan tiga fasilitas kesehatan. Sedangkan jumlah rumah warga yang rusak sebanyak 56.320 unit.
Dari update sampai dengan hari ini korban jiwa yang meninggal dunia jumlah 318 orang,” ujar Deputi III Bidang Penanganan Darurat BNPB, Mayjen Fajar Setyawan, kepada wartawan, Sabtu (26/11/2022).
Dia menambahkan, tim SAR gabungan telah menemukan delapan korban sehingga jumlah korban hilang ataupun masih dalam status pencarian berjumlah 14 jiwa.
Sungguh memilukan puluhan jiwa belum diketahui dimana rimbanya. Ratusan orang yang terluka juga belum pulih dari sakitnya. Sementara itu, ribuan jiwa masih berada di tempat pengungsian. Entah kapan warga Cianjur bisa beraktivitas normal kembali. Ratusan sekolah dan tempat ibadah rusak parah. Demikian juga fasilitas umum yang lain.
Tetapi mirisnya, di tengah duka warga Cianjur justru ada acara suka cita di GBK. Relawan Jokowi justru menggelar acara bertajuk ‘Nusantara Bersatu’ yang dihadiri oleh ribuan orang.
Acara besar dengan menghadirkan ribuan orang tentu membutuhkan biaya besar. Sungguh miris, di saat pemulihan kondisi Cianjur membutuhkan biaya besar, tapi di GBK justru menghambur-hamburkan uang untuk membiayai kegiatan yang tidak bermanfaat. Semestinya dana tersebut digunakan untuk pemulihan Cianjur, pasti akan memberikan manfaat yang sangat besar.
Selain itu acara “Nusantara Bersatu” juga mengisahkan beragam cerita seperti puas, kecewa, dan bingung, datang dari acara pertemuan akbar relawan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tergabung dalam Gerakan Nusantara Bersatu di Gelora Bung Karno (GBK) tersebut, (Tempo.co) Jakarta, pada Sabtu, 26 November 2022.
Acara tersebut terkesan menipu, semula katanya ada sholawat kubro, ternyata tidak ada. Ternyata acara ini sengaja diadakan untuk meraih dukungan politik bagi tokoh dan partai tertentu yang saat ini mulai bersiap menuju panggung pemilu 2024.
Inilah gambaran sebagian potret masyarakat dan pejabat di negeri kita. Rasa empati, kepedulian dan perhatian masih mahal harganya.
Sebaliknya individualisme dan kepentingan pribadi/ golongan masih mendominasi.
Tak peduli masih ada saudara yang sedang berduka, yang penting politik harus diutamakan. Tak peduli menghabiskan dana dan menipu massa, asal tujuan politik terlaksana.
Itulah sistem kapitalisne sekukerisme liberalisme, yang hatinya di selimuti dengan manfaat tanpa peduli yang lain walau itu sekarat yang penting tujuan tercapai hati pun senang.
عَنْ عَائشةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ
Dari ‘Aisyah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ya Allah, Barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas dia membuat susah mereka, maka susahkanlah dia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas dia mengasihi mereka, maka kasihilah dia.” ([1])
Hadis ini berisi doa keburukan dari Rasulullah ﷺ terhadap orang yang membuat susah kaum muslimin, sekaligus doa Rasulullah ﷺ bagi orang yang mempermudah urusan kaum muslimin. Dan kita tahu bahwasanya doa Rasulullah dikabulkan oleh Allah ﷻ.
Ini tentu berbeda sekali dengan sistem Islam. Islam menggambarkan kaum muslimin itu seperti satu tubuh. Ketika ada satu bagian anggota tubuh yang sakit atau terluka, maka bagian tubuh yang lain akan ikut merasakan sakitnya.
Bukan hanya tidak peduli sesama acara Nusantara Bersatu yang digelar Relawan Jokowi menyisakan sampah berserakan yang mengotori Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta Pusat, (Sabtu 26/11/2022, CNN Indonesia). Penampakan lautan sampah di GBK tersebut menjadi sorotan publik dan berujung viral di media sosial.
Sehingga dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta harus mengerahkan 500 personel pasukan oranye untuk membersihkan dan mengangkut sampah dan berhasil mengumpulkan total 31 ton beragam jenis sampah usai acara tersebut.
“Semua terlibat dalam membereskan sampah ini, baik dari kasudin, kasatpel, hingga petugas jasa layanan perorangan semua terlibat,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto di Jakarta, dikutip Antara.
Dari beragam fakta diatas dapat di simpulkan bahwa penguasa negeri yang mengadopsi sistem kufur kapitalisme sekulerisme liberalime tidak pernah perduli terhadap nasip rakyat, sudah tak perduli menyusahkan rakyat pula, kenapa tidak?
Sudahlah bersenang-senang diatas duka Cianjur, setelah itu menyisahkan tumpukan sampah pula, jadi siapa yang di susahkan atas kelakuan mereka, tidak lain adalah rakyat kecil.
Penguasa negeri ini masih bisa makan enak, tidur nyenyak, jalan-jalan enak. Sementara rakyat harus bekerja keras untuk hidup nya. Astaghfirullah
Sungguh berbeda dengan sikap Umar bin Khaththab ketika terjadi paceklik di Madinah, ia menahan dirinya nuntuk tidak makan enak karena begitu prihatin dengan nasib rakyatnya.
Terkait bencana Cianjur, harusnya membuka mata serta hati para penguasa negeri ini serta semua masyarakat yang lain ikut merasakan dukanya. Selanjutnya berupaya membantu meringankan beban mereka. Kalau tak bisa membantu dana, bisa dalam bentuk kontribusi yang lainnya.
Alangkah luar biasa seandainya ribuan relawan yang ada di GBK diperbantukan untuk memulihkan kondisi di Cianjur. Pasti akan mempercepat proses perbaikan di sana.
Kita tak hendak mengajak semua larut terus menerus dalam duka, tapi setidaknya jangan bersuka cita di atas duka yang lainnya.
Sikap pemimpin dalam Islam juga harus menjadi panutan, khususnya ketika menghadapi bencana yang melanda.
Khalifah Umar misalnya, beliau sampai menahan diri untuk tidak makan enak ketika masyarakat di Madinah sedang dilanda paceklik. Beliau sangat prihatin membayangkan umatnya tidak bisa makan dengan layak. ‘Biarlah aku yang terakhir merasa kenyang, umatku harus kenyang duluan, ” begitulah prinsip beliau.
Sungguh kita merindukan sosok pemimpin yang seperti Umar bin Khattab. Sosok yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya. Tak hanya memikirkan kepuasaan diri semata.
Kita juga merindukan masyarakat yang penuh empati. Yang mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri. Yang tak akan tega bersuka cita ditengah duka saudaranya.
Sosok pemimpin ideal dan gambaran masyarakat ideal hanya akan terwujud ketika Sistem Islam diterapkan.
Islam yang mulia melalui syariatnya yang sempurna akan menempatkan pemimpin sebagai pelayan umat yang akan dimintai pertanggungjawaban terhadap amanah kepemimpinan yang diembannya.
Masyarakat juga akan dimintai pertanggungjawaban terhadap nasib saudaranya. Tak akan ada sikap nirsimpati. Yang ada adalah kepedulian dan rasa kasih sayang yang tinggi.
Wallahu a’lam bishshowab.***
Penulis pegiat literasi Islam