Senin, 25 November 2024

Penceramah Radikal, Mengancam Siapa?

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Alfiah S.Si

Oleh : Alfiah, S.Si

Aneh bin ajaib, tetiba Presiden Joko Widodo mengingatkan TNI dan Polri agar jangan sampai disusupi penceramah radikal dalam kegiatan beragama. Menurut Jokowi jangan sampai dengan mengatasnamakan demokrasi lantas mengundang penceramah radikal.

Peringatan tersebut disampaikan Jokowi kepada semua jajaran TNI dan Polri di Plaza Mabes TNI, Cilangkap, Selasa (1/3/2022).

Setali tiga uang, BNPT menilai pernyataan Jokowi harus ditanggapi serius oleh seluruh kementerian, lembaga pemerintah, hingga masyarakat. Demikian dikatakan Direktur Pencegahan  BNPT Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid, melansir Antara, Sabtu (5/3/2022). Ia mengatakan, penceramah radikal dilihat bukan tampilannya, melainkan dari beberapa indikator dari isi materi yang disampaikan.

Menurut BNPT, setidaknya ada beberapa indikator yang disampaikan seorang penceramah radikal. Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.

Ketiga, menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoaks.

Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Kelima, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan.

Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan membantah kriteria atau ciri penceramah radikal yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) beberapa waktu lalu.

Pertama, Amirsyah mengkritik BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional.

Menurutnya, kriteria pertama ini blunder karena tidak paham pada ajaran Islam seperti Khilafah, Amirsyah mengingatkan Ijtima Ulama Komisi Fatwa tahun 2021 memberikan rekomendasi kepada masyarakat dan pemerintah agar memahami Jihad dan Khilafah tidak dipandang negatif. Dalam forum itu menegaskan nilai-nilai kesungguhan (Jihad) dan kepemimpinan (Khilafah) adalah ajaran Islam untuk mengatasi problem umat dan bangsa.

Amirsyah menyinggung ajaran yang bertentangan dengan Pancasila seperti komunisme yang tidak pernah dijelaskan secara jujur. Selain itu, kata Amirsyah, paham-paham lain yang menyebabkan ekonomi rakyat terpuruk tidak pernah disebut bertentangan dengan Pancasila.

Amirsyah juga mengkritik kriteria kedua yang disampaikan BNPT tentang penceramah radikal adalah yang mengajarkan paham takfiri atau mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham ataupun berbeda agama. Amirsyah meminta BNPT tidak salah memahami makna takfiri.

Menurutnya soal takfiri jangan disalahpahami karena dalam Islam, semua yang beragama lain (non-Islam), itu memang disebut kafir. Jika memerangi umat Islam disebut kafir Harbi, sementara jika berdampingan hidup damai dengan umat Islam disebut kafir Dzimmi. Selama ini tidak ada masalah karena secara internum bagi umat Islam.

Ciri penceramah radikal ketiga yang disampaikan BNPT adalah mereka yang menanamkan sikap anti-pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan menyebarkan berita bohong (hoax). Perihal poin ini, Amirsyah meminta buzzer yang menyebarluaskan fitnah dan adu domba harus dikenai sanksi tegas oleh pemerintah.

MUI selama ini bermitra dengan pemerintah (shodiqul hukumah) karena itu kebijakan pemerintah yang benar didukung. Sebaliknya, jika ada kebijakan yang menyimpang berdasarkan konstitusi, agar berbangsa dan bernegara kembali ke jalan yang benar melalui dakwah sebagai bukti cintanya rakyat kepada penguasa. Pada dasarnya dakwah itu mengajak, bukan mengejek, mendidik bukan membidik, dan lain-lain.

Ciri penceramah radikal keempat menurut BNPT adalah mereka yang memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan ataupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman. Terkait kriteria ini, Amirsyah berbicara soal agama Islam yang tidak mau mencampuri ibadah agama lain.

Secara proporsional sikap ini tidak ada masalah terkait ibadah, umat Islam memang eksklusif, karena Islam tidak mau mencampuri ibadah agama lain (lakum dinukum wa liyadin).

Poin terakhir yang disampaikan BNPT yaitu penceramah radikal biasanya memiliki pandangan anti-budaya atau anti-kearifan lokal keagamaan. Amirsyah menjelaskan Islam menghargai budaya lokal, tapi dia memberikan catatan.

Jika budaya itu berimplikasi pada kekufuran, seperti mengorbankan hewan untuk sesembahan, itu diharamkan. Kalau budaya itu sejalan dengan Islam, seperti dakwah yang di kembangkan para Wali Songo terbukti penyebaran Islam dengan menggunakan kearifan lokal.

BNPT sebaiknya tidak mencampuri soal agama yang bukan domainnya, karena bisa salah paham atau gagal paham yang yang digunakan untuk tuding-menuding radikal. Heran saja, kenapa pemerintah terus memprovokasi publik agar waspada terhadap kelompok dan tokoh radikal. Padahal yang mereka tunjuk adalah kelompok dan tokoh yang kritis terhadap kezaliman dan mengajukan solusi demi perbaikan kondisi negeri.

Penceramah adalah ulama yang menuntun umat pada kebenaran. Jangan sampai wacana penceramah radikal justru akan melahirkan ulama- ulama buruk yang takut menyampaikan kebenaran. Rasulullah ﷺ bersabda,”Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama”. (HR Ad Darimi).

Sayyidina Anas ra meriwayatkan : “Ulama adalah kepercayaan Rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik terhadap dunia, maka mereka telah mengkhianati para Rasul, karena itu jauhilah mereka.” (HR al Hakim).

Dari Abu Dzar berkata, ”Dahulu saya pernah berjalan bersama Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda, “Sungguh bukan dajjal yang aku takutkan atas umatku.”
Beliau mengatakan tiga kali, maka saya bertanya,” Wahai Rasulullah, apakah selain dajjal yang paling Engkau takutkan atas umatmu ?”. Beliau menjawab, para tokoh yang menyesatkan”. (Musnad Ahmad (35/222). Wallahu a’lam bi asshowab.***

Penulis pegiat literasi Islam

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *