Jakarta (Riaunews.co) – Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan ada ancaman pangan yang lebih buruk dari kenaikan harga cabai. Menurutnya, ancaman terbesar di depan mata, berkaitan dengan ketersediaan pangan.
Menurutnya, kenaikan harga cabai hingga di atas Rp100 ribu per kilogram (kg) yang saat ini terjadi harus menjadi peringatan bahwa kebijakan pangan Indonesia ke depan tak bisa lagi menggunakan pendekatan ‘petugas pemadam kebakaran’.
HATI-HATI, ADA ANCAMAN PANGAN YANG LEBIH BURUK DARI KENAIKAN HARGA CABAI. (A Thread) @hkti
— FADLI ZON (Youtube: Fadli Zon Official) (@fadlizon) June 26, 2022
Anggota DPR itu berpendapat pemerintah tidak bisa mengeluarkan kebijakan ketika sudah terjadi krisis harga, baik jatuh maupun melonjak.
“Cara seperti itu tak boleh lagi dipertahankan,” kata Fadli dalam utas di akun Twitter miliknya, @fadlizon, Ahad (26/6/2022).
Secara kasuistik, dia menerangkan, kenaikan harga cabai yang terjadi dalam satu bulan terakhir ini memang dipicu dua faktor.
Faktor pertama, Fadli membeberkan, perubahan iklim di mana cuaca tak menentu, curah hujan tinggi, banjir, serta angin telah membuat tanaman pangan rentan terkena penyakit, seperti hama patek dan fusarium.
Menurutnya, faktor itu membuat produktivitas anjlok, sehingga pasokan menjadi berkurang drastis.
“Ada penurunan produksi cabai yang signifikan di bulan April hingga Mei kemarin,” ucap Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu.
Faktor kedua, adalah tanah. Fadli menerangkan, lahan tanaman cabai Indonesia yang rusak banyak yang tak bisa diatasi para petani karena terkendala modal, pengetahuan, dan keterampilan.
Fadli memandang, faktor perubahan iklim itu merupakan masalah serius, terutama bagi pertanian hortikultura.
Menurutnya, komoditas pangan hortikultura sangat sensitif sekali terhadap curah hujan yang tinggi, karena bisa berdampak langsung pada kualitas dan kuantitas hasil panen.
“Kalau kita melihat dua faktor tadi, masalah kenaikan harga cabai ini mungkin akan dianggap kecil dan bersifat lokal. Tetapi, ada persoalan lain yang jauh lebih besar di belakangnya, yaitu isu ancaman ketersediaan pangan yang semakin dekat,” ujarnya.
Fadli berpendapat, pemerintah harus menempatkan kasus lonjakan harga cabai ini di dalam kerangka isu ancaman ketersediaan pangan secara global.
Ia mengingatkan bahwa perang antara Rusia dan Ukraina telah berdampak besar pada isu pangan pascapandemi Covid-19.
“Menurut data FAO (The Food and Agriculture Organization) dan Bank Dunia, gangguan rantai pasok akibat perang Rusia-Ukraina ini telah menyebabkan lonjakan harga pangan di seluruh dunia,” ucap dia.
Fadli pun menyampaikan, kebijakan sejumlah negara menghentikan ekspor pangan demi mengamankan stok pangan. Menurutnya, pembatasan ekspor komoditas semacam itu akan semakin membuat harga pangan global kian meroket, sehingga akan mempersulit akses negara-negara importir pangan.
Menurutnya, dampak nyata yang akan segera sampai ke kalangan petani Indonesia adalah soal pupuk. Secara global, dia berkata, tren harga pupuk terus naik, apalagi sejumlah negara produsen pupuk seperti China tengah melakukan restriksi ekspor saat ini.
“Di sisi lain, Rusia dan Iran, dua negara yang merupakan negara produsen gas besar di dunia, yang merupakan bahan baku pupuk, kini sama-sama mendapat sanksi dari negara-negara Barat,” sambung mantan Wakil Ketua DPR RI itu.
Fadli menyampaikan, FAO memberikan peringatan bahwa biaya input pertanian, terutama pupuk, akan segera melonjak tajam, sehingga akan memperburuk ketahanan pangan di negara-negara miskin atau berkembang.
Berdasarkan data FAO pada Juni 2022, menurutnya, indeks biaya input pertanian telah mencapai rekor tertinggi. Fadli memandang, isu itu seharusnya membuat Indonesia khawatir.
“Jadi, kenaikan harga cabai, juga komoditas lainnya, seperti minyak goreng, gandum, jagung, telur ayam, daging sapi, atau pupuk, harus kita baca sebagai dampak perubahan atas dinamika global, yaitu perubahan iklim dan perubahan rantai pasok pangan akibat ketegangan politik di Eropa,” ujar dia.
Ia menambahkan, Indonesia harus melakukan perubahan-perubahan fundamental dalam cara bercocok tanam. Ke depan, menurutnya, Indonesia tak bisa lagi mengelola pertanian ini dengan cara tradisional, sehingga rentan sekali terhadap berbagai perubahan lingkungan.
Artinya, dia bilang, Indonesia harus segera melakukan inovasi besar-besaran dalam bidang pertanian agar bisa menghadapi dinamika perubahan global yang mengancam.
“Petani tidak boleh dibiarkan hidup dengan ‘teknologi pasrah’ seperti yang selama ini berjalan. Tetapi, mereka tak mungkin melakukan perubahan atau inovasi itu sendirian. Pemerintah harus campur tangan sangat besar untuk melahirkan inovasi-inovasi baru itu,” tegasnya.***