Oleh : Alfiah, S.Si
Khilafah kembali naik daun dan sempat trending topik di jagad maya. Pasalnya gegara cuitan Kristia Budiyarto alias Dede Budhyarto yang bikin heboh karena memplesetkan diksi khilafah menjadi ‘khilafuck’. Gara-gara itu kini dirinya menuai kecaman dari berbagai pihak. Dede Budhyarto tidak lain adalah komisaris PT Pelayaran Nasional Indonesia/Pelni (Persero).
Dede Budhyarto memplesetkan diksi khilafah menjadi ‘khilafuck’ saat menuliskan pandangannya bahwa dalam memilih calon presiden (capres) tidak boleh asal. Hal itu dituliskannya di akun Twitter pribadinya. “Memilih capres jangan sembrono apalagi memilih capres yang didukung kelompok radikal yang suka mengkafir-kafirkan, pengasong khilafuck anti Pancasila, gerombolan yang melarang pendirian rumah ibadah minoritas,”
Sontak saja cuitan tersebut menimbulkan berbagai komentar dari netizen. Banyak yang menilai cuitan Dede Budhyarto atau yang akrab disapa Kang Dede itu tidak pantas dalam posisinya sebagai komisaris perusahaan pelat merah (BUMN). Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon juga turut berkomentar. Dia berharap Dede Budhyarto bisa dipecat dari jabatannya sebagai komisaris BUMN. “Orang seperti ini harusnya dipecat saja sebagai komisaris, jangan sampai menjadi wajah BUMN,” cuit Fadli dalam akun Twitternya @fadlizon.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis juga mengkritik Komisaris PT Pelni, Kristia Budiarto atau Dede Budhyarto, terkait cuitan ‘khilafuck’. Menurutnya soal tak suka dengan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang memperjuangkan Khilafah, kurang tepat dan tak sopan memelesetkan kata khilafah. Cholil mengingatkan soal sopan santun dalam urusan dukung-mendukung bakal calon presiden (bacapres). Dia juga menegaskan komitmennya soal Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Menurut dia, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah sesuai dengan Piagam Madinah.
Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN pun turut berkomentar, ia menyebut bagaimana wajah BUMN saat ini yang mengabaikan moral dan etika dalam pengangkatan pejabat.
Ternyata bukan kali ini saja Dede Budhyarto membuat kegaduhan. Dede Budhyarto juga sempat membuat heboh saat Pelni membatalkan acara bertajuk ‘Kajian Online Zoom Meeting Ramadhan 1442 H: Ramadhan Memperkuat dan Memperteguh Iman’. Acara itu rencananya diisi oleh pembicara Ustaz Firanda Andirja, Ustaz Rizal Yuliar Putrananda, Ustaz Subhan Bawazier, KH Cholil Nafis (Ketua Bidang Pengurus MUI Pusat), dan Ustaz Syafiq Riza Basalamah. Dede Budhyarto mengatakan pembatalan acara itu karena tidak adanya koordinasi antara panitia acara kajian dengan direksi PT Pelni terkait pembicara yang didatangkan. Buntut dari dibatalkannya acara kajian Ramadhan online itu, ada pejabat yang dimutasi.
Sesungguhnya memplesetkan diksi khilafah menjadi ‘khilafuck’ adalah bentuk penistaan terhadap agama. Hal itu membuktikan minimnya literasi Dede Budhyarto terhadap ilmu Fiqih Islam dan Tarikh Islam (Sejarah Islam). Sungguh ironis jika seorang yang beragama Islam dan lulusan Ilmu Komunikasi, namun minim literasi Islam dan buruk dalam berkomunikasi. Apalagi dia seorang pejabat publik dimana ucapan dan tindakannya pasti akan dikaitkan dengan institusi dia berada.
Pengkaitan Khilafah dengan radikalisme dan terorisme adalah sesat pikir dari sikap islamofobia dan anti Islam. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam dan bagian dari ajaran Islam. Praktek pemerintahan ini dilaksanakan secara langsung oleh pengganti Rasulullah SAW—disebut khalifah—yakni khulafa’ar Rasyidin. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Mereka melaksanakan syariat Islam sebagai pedoman dalam mengatur masyarakat. Setelah Khulafa’ ar Rasyidin, kepemimpinan berikutnya dilanjutkan oleh para khalifah secara silih berganti hingga 1924. Praktis hampir 13 abad lamanya sistem Khilafah diterapkan.
Khilafah merupakan ajaran Islam yang dalam istilah modern disebut dengan negara Islam (ad-daulah al-Islamiyyah) atau sistem pemerintahan Islam (nizham al-hukm fi al-Islam). Dalam istilah para fuqaha (ahli fiqh) terdahulu, khilafah disebut juga dengan istilah Imamah atau Darul Islam atau Imaratul Mukminin (Wahbah Az Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 8/407; Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al-Muhadzadzab, 17/517)
Khilafah ini hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Kewajiban khilafah ini sungguh telah disepakati secara ijma’ (konsensus) oleh seluruh ulama yang terpercaya (tsiqah) dan kredibel (mu’tabar) dari berbagai mazhab. Syeikh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Ala al-Mazhahib al-Arba’ah menegaskan, ”Telah sepakat para imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad) -semoga Allah merahmati mereka—bahwa imamah (khilafah) adalah fardhu..” (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala al-Mazhahib al-Arba’ah, 5/416).
Para ulama telah menjelaskan dalil-dalil wajibnya khilafah ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan kaidah fikih (qai’idah syar’iyyah). Dalil Al-Qur’an, antara lain firman Allah (artinya), “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi (TQS al-Baqarah: 30).
Adapun dalil As-Sunnah, antara lain hadits dari Abdullah bin ‘Umar ra dari Nabi SAW, “Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang khalifah/imam) maka matinya adalah mati jahiliah” (HR Muslim, no 1851).
Adapun dalil Ijma’ Sahabat, antara lain dijelaskan oleh Imam Abdul Qahir Al Baghdadi yang berkata, “Sesungguhnya para sahabat Nabi SAW telah bersepakat mengenai wajibnya imamah (khilafah), dan [dengan demikian] tidak teranggap pendapat berbeda dari Al-Futhi dan Al-‘Asham dalam masalah imamah ini, karena telah lebih dahulu terjadi ijma’ (sahabat) yang berbeda dengan pendapat keduanya (Abdul Qahir Al-Baghdadi, Ushuluddin, hlm.272).
Sedang dalil Qawaid Fiqhiyyah, antara antara lain disebutkan oleh Syeikh Abdullah Ad-Dumaji, “Di antara dalil-dalil atas wajibnya imamah (khilafah) adalah qaidah syar’iyyah yang berbunyi “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib” (Segala kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya. Sungguh telah diketahui bahwa Allah SWT telah mewajibkan berbagai perkara yang tidak dimampui oleh orang perorang, misalnya menegakkan sanksi pidana… melainkan harus dengan cara mewujudkan kekuasaan (as-sulthan) yang akan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Kekuasaan ini, tiada lain adalah imamah [khilafah]” (Abdullah ad Dumaiji, Al Imamah al-Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hlm.59).
Jelaslah bahwa Khilafah adalah ajaran Islam dan melecehkan Khilafah termasuk perbuatan istikhlaf bi al ahkam al syar’iyyah (penghinaan terhadap hukum-hukum syariat Islam) (Al-Mausu’ah al Fiqhiyyah, 3/251).
Maka sangat aneh bila ada Muslim yang memusuhi ajaran Islam ini. Bahwa ajaran Islam ini belum diterapkan di muka bumi saat ini, tidak berarti kewajiban untuk melaksanakannya hilang. Dunia terus berubah. Tidak ada yang stagnan—dalam bahasa populer: harga mati. Dulu, Eropa terpecah belah menjadi negara-negara kecil. Kini mereka bersatu dalam Uni Eropa. Wallahu a’lam bi ash shawab.***
Penulis pegiat literasi Islam